Part 9

18 4 2
                                    

Setelah sekian lama... haha

Happy reading...

______________________

Sore itu Nayla pulang ke rumah. Merasa heran sebab di depan rumah Damas — gazebo, tidak lagi terlihat ibu Damas berada di sana, membanggakan putranya di depan teman-temannya.

Nayla mengangkat bahu bersikap tidak peduli. Ibu Damas hendak melakukan apa pun, itu bukanlah urusan Nayla, selama itu tidak menyangkut pautkan dirinya.

Nayla turun dari motor, memarkirkan motor itu di samping rumah. Berjalan sampai ke depan pintu mendapati sepasang sendal asing di sana. Berpikir jika sang bunda sedang kedatangan tamu saja.

Baru saja Nayla menapakkan kaki di dalam rumah. Di ruang tengah ia mendengar samar-samar percakapan dari sana. Nayla mengenal suara itu. Suara sang bunda, juga ... ibu Damas.

"Tolonglah, mbak, bujuk Nayla," ibu Damas terdengar memohon, "mbak, juga tau kalau Damas sangat mencintai Nayla ... kalau sampai Damas tau Nayla mengakhiri hubungan mereka seperti ini, Damas pasti merasa kecewa."

"Aduh, bagaimana ya, Mar. Semuanya itu keputusan Nayla, aku nggak punya hak untuk ikut campur," balas Midar tidak enak hati juga — tidak tega.

"Iya, mbak, aku tau. Tapi seenggaknya kali ini aja, mbak, tolong bantu aku buat bujuk Nayla. Ya, mbak, ya," Marni kembali memohon.

Midar menghela nafas. "Ya sudah akan aku coba," sahutnya.

"Coba apa, bun?" tanya Nayla menatap ibu Damas dahulu lalu menatap sang bunda, "bunda nggak perlu mencoba untuk membujukku. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin mengakhiri hubunganku dengan Damas."

Marni segera bangkit dari duduknya — menghampiri Nayla. "Jangan begitu, Nay, ibu mohon. Ibu minta maaf udah salah sama kamu."

"Ibu nggak salah apa-apa," sahut Nayla, "aku yang udah nggak sanggup menunggu Damas untuk kembali. Jadi, kalau nanti dia menyalahkan ibu karena hubungan kami. Biar aku sendiri yang bicara."

"Tapi, Nay—"

"Buk, maaf, aku mau istirahat sebentar dulu. Permisi," sela Nayla, tidak berniat memperpanjang percakapan. Berharap hal itu sudah mampu membuat ibu Damas mengerti.

"Lebih baik kamu pulang aja, Mir," ucap Midar, "kamu udah dengar apa kata Nayla. Kamu nggak salah apa-apa. Mungkin Nayla butuh istirahat untuk menenangkan hatinya."

Mirna menghela nafas. Memandang ke arah kamar yang dimasuki oleh Nayla.

"Baiklah, mbak, kalau begitu aku pulang dulu," ucap Mirna lalu keluar dari rumah itu — menuju rumahnya.

Nayla duduk di atas kasur, meletakkan tas selempang yang ia gunakan tepat di sampingnya. Nayla menghela nafas, entah untuk yang keberapa kali. Nayla sakit, tentu. Namun ia mencoba bertahan. Bahkan rela jika pada akhirnya ia yang akan disalahkan.

Nayla mengangkat kepala — menatap pintu kamar yang terbuka, tampak sang bunda tengah berjalan masuk dan duduk tepat di sampingnya.

"Bunda nggak akan tanya apakah kamu baik-baik aja," ucap Midar pelan — menatap Nayla lembut, "karena tanpa diberitahu sekali pun, bunda sudah tau bagaikan perasaanmu."

Nayla diam saja, balas menatap sang bunda dengan tatapan sendu.

"Kalau kamu merasa berat, nggak usah dilanjutin, Nay," lanjut Midar, "jadi keras kepala juga nggak ada untungnya."

Nayla hendak memberikan bantahan, namun sebelum itu terjadi sang bunda sudah lebih dulu menyela.

"Bunda tau menunggu Damas membuat kamu merasa sakit," sela Midar, "tapi bunda juga tau, dengan mengakhiri hubungan kalian, kamu jauh lebih sakit."

DERMAGA PENANTIAN.Where stories live. Discover now