Part 16

17 4 2
                                    

Nayla melempar ponselnya ke samping tempat tidur tanpa sadar. Menangkup kedua pipinya yang seketika terasa panas. Nayla malu. Sangat. Berpikir sebelum jika Alga tidak sempat membaca pesan itu. Tapi siapa sangka jika Alga justru membalasnya.

"Aku suka kamu, karena itu kamu."

Nayla menyentuh dadanya dengan kedua tangan yang saling bertumpu, merasakan sebaran hebat di sana. Nayla tidak menyangka, setelah beberapa bulan lamanya ia akhirnya merasakan kembali debaran itu. Debaran yang sama saat Nayla bersama Damas. Hanya saja kali ini berbeda. Debaran itu tidak lagi Nayla persembahkan untuk Damas, melainkan untuk pria baru yang sudah cukup lama menemani hari-hari Nayla.

Untuk sesaat Nayla termenung, membayangkan kembali saat-saat bahagia ketika ia bersama Damas. Tidak ada hal yang dapat Nayla keluhkan sebab Damas senantiasa bersikap baik terhadapnya. Nayla hanya menyayangkan, setelah bertahun-tahun hubungan itu terjalin, dan di saat keduanya berniat untuk melangkah lebih serius, hubungan itu justru berakhir.

"Semoga kamu bahagia, Damas," lirih Nayla mendoakan, "maaf, kalau aku hanya mampu bertahan sampai di sini."

Nayla menghela nafas sebelum akhirnya meleburkan kembali kenangan akan Damas dalam ingatannya. Memutuskan mengakhiri hubungan dengan Damas, artinya Nayla sudah memutuskan jalan untuk maju, dan tidak lagi menoleh ke belakang.

Sebelum memutuskan untuk tidur, Nayla kembali mengambil ponselnya dan membuka pesan terakhir yang Alga kirimkan. Setelah pesan terakhir itu ternyata Alga tidak lagi membuka WhatsApp setelah 15 menit yang lalu. Sepertinya pria itu sudah tidur. Dan akhirnya Nayla memutuskan untuk tidur juga.

"Nayla, ini motor kamu."

"Loh, Mas, bukannya aku udah bilang biar aku sama Ayah yang nanti ngambil motornya. Kan, kamu jadi repot," sahut Nayla merasa tidak enak hati.

"Nggak pa-pa," jawab Alga, "demi orang yang aku sayang. Apa sih yang enggak."

"Ah, Mas, kamu bisa aja," Nayla memukul dada Alga — merasa malu.

Setelah beberapa kali pukulan, Alga langsung menangkap tangan Nayla hingga membuat wanita itu langsung melihatnya. Nayla tidak lagi tersenyum, justru terlihat penasaran dan bertanya-tanya.

"Nay, kamu tau, kan, kalau aku sangat menyukai kamu," Alga berucap pelan, tapi Nayla masih mampu mendengarnya. "Aku rasanya nggak bisa hidup tanpa kamu, Nay." Alga terlihat sendu. "Aku takut kehilangan kamu ... gimana kalau kita nikah aja, Nay?"

Nayla tercengang, seakan kehabisan kata. Hanya mampu menatap Alga tanpa bisa menjawab pertanyaannya.

"Kamu mau, kan, Nay?" Alga kembali bertanya. Namun masih sama seperti sebelumnya, Nayla hanya diam tanpa mampu untuk menjawab pertanyaan itu.

"Nay,"

"Nay,"

"Nayla!"

Nayla tersentak ketika namanya diserukan cukup keras. Spontan matanya membulat seketika saking terkejutnya. Nayla menoleh ke samping dan melihat Midar tengah duduk di samping tempat ia tidur.

Nayla menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan memastikan sesuatu, dan saat ini Nayla masih berada di tempat terakhir ketika matanya terpejam.

"Cuma mimpi?" batin Nayla, lalu menghela nafas lega.

"Ayo, bangun, Nay," Midar kembali menyadarkan Nayla yang terlihat melamun, "tumben banget dibangunin, biasanya nggak gini ... cepetan, ya. Ayah udah nunggu kamu di meja makan."

Nayla tidak menyahuti, tapi Midar tau jika Nayla mendengar perkataannya. Nayla menghela nafas, menggusar rambutnya ke belakang. Seketika itu pula Nayla teringat akan mimpi yang baru beberapa menit yang lalu terjadi. Seketika Nayla menggelengkan kepala, merasa jika mimpi itu terlalu berlebihan. Sungguh seperti lelucon. Andaikan Nayla nantinya bersama Alga, ia tidak mungkin bersikap seperti itu. Membayangkan mimpi itu terjadi padanya saja, Nayla sudah merasa sangat malu.

DERMAGA PENANTIAN.Où les histoires vivent. Découvrez maintenant