44. Bagian Yang Telah Hilang

59 10 0
                                    

Kawan, selamat jalan, selamat tidur di tempat peristirahatan yang abadi. Doa kami akan mengiringi jalanmu. Kami semua di sini melepasmu dengan ikhlas.

Keluarga besar XI-Sos3 berduka.

~Pesawat Kertas~

Selamat membaca~

***

Halaman rumah yang Kana datangi sekarang sangat ramai, tapi suasananya suram. Semua  diam, membuat banyaknya orang di sini seolah tidak pernah ada.

Langkah kakinya begitu pelan melewati halaman rumah yang tampak tidak terlalu besar namun bisa dibilang mewah, rumah ini berada di komplek sebelah tempat Kana tinggal. Beberapa orang menatapnya sejenak sebelum sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kana berhenti di dekat pilar yang di sana berkibar bendera kuning tanda bahwa sang pemilik rumah sedang berduka.

Begitu sampai di pintu, orang-orang di dalam sana menoleh. Remaja-remaja berseragam sekolah itu kaget melihat Kana dengan pakaian gelap berdiri di depan sana. Tatapannya lurus ke arah raga yang kini terbaring kaku di tengah mereka.

"Rio...." Kana mengerutkan kening, tidak menyangka kalau sosok itu benar-benar Rio, teman sekelasnya yang suka mabar di pojok kelas bersama Jaya dan Ren.

Air mata mengalir tanpa mampu ditahan, namun Kana tidak terisak seperti teman ceweknya yang lain. Ia melangkah masuk, membuat teman-temannya memberi jalan supaya Kana bisa mendekati Rio.

Dari dekat, Kana bisa melihat wajah pucat Rio. Wajah yang akhir-akhir ini memang selalu terlihat murung di kelas. Bahkan Ren sering cerita kalau selama Kana tidak masuk sekolah, Rio banyak berubah. Cowok itu lebih suka keluar kelas untuk merokok di belakang gedung olahraga daripada ke kantin atau mabar dengan dia dan Jaya.

Bahkan kemarin, benar-benar baru kemarin Kana melihat kantung mata hitam Rio dengan jelas. Seolah cowok itu tidak tidur berhari-hari. Rio juga diam saja padahal teman-temannya heboh karena Jaya tiba-tiba afk. Cowok itu lebih banyak tidur seperti kelelahan. Teman-temannya berpikir mungkin akhir-akhir ini klub voli berlatih lebih keras mendekati turnamen.

Tidak jauh dari tubuh Rio, seorang wanita bersetelan rapi diam menatap wajah cowok itu. Tidak ada air mata yang mengalir, raut wajahnya datar saja. Tanpa menebak, Kana tahu wanita itu adalah Ibu Rio.

Lagian gue mana bisa berhenti sekalipun pengen, Mama bilang gue harus jadi pemain voli karena nggak bakal bisa jadi dokter dengan otak minim begini, padahal gue mau jadi gammer aja.

Gue ada karena mama dan untuk mama, bahkan hidup gue juga. Jadi, kalau itu bikin mana bahagia, gue lakuin.

Jadi anak bungsu gini banget ya, harus menambal semua kecacatan kakak-kakaknya. Dituntut sempurna dengan dalih 'belajar tuh dari kakakmu, biar ngikutin jejak mereka!'

Capek, tapi nggak boleh nyerah nanti kalau gue nyerah nggak ada yang jagain Kak Riana.

Kana ingat kata-kata itu pernah diucapkan Rio saat ia memergoki cowok itu sedang mengobati tangannya di kelas pagi-pagi sekali. Kedua lengan Rio memar-memar karena berlatih voli terlalu keras, bahkan saat Sabtu dan Minggu harus tetap latihan.

Orang tua Rio dari kalangan berada, tapi Kana tahu kalau biaya sekolahnya ditanggung beasiswa yang didapat dari prestasi menjadi atlet voli. Kalau Rio berhenti voli, itu tandanya ia harus berhenti sekolah. Tidak banyak yang tahu cerita ini, bahkan mungkin hanya Kana yang pernah melihat Rio menangis putus asa ketika ia gagal membawa timnya masuk final di salah satu turnamen akhir tahun.

Kana hendak mendekati wanita itu namun beliau malah beranjak dan pergi dari sana, lalu kembali dengan menenteng tas kerja sambil memakai jam tangannya. Kana mengernyit melihat hal itu, apalagi saat Mama Rio meminta teman-teman Rio untuk menyingkir agar beliau bisa lewat. Kelakuan Mama Rio tidak luput dari perhatian Kana.

Pesawat Kertas [SELESAI]✔Where stories live. Discover now