"Gimana keputusan Biru tentang tawaran aneh kamu?"
"Masih sama, Pa. Belum berhasil melunakkan hatinya."
Pria tua berambut kombinasi hitam dan putih itu tertawa sumbang. Senang cuti satu hari yang diambilnya bisa dikunjungi sang putri. "Lagian ada-ada aja, sih, kasih saran suami minta di poligami. Malah papa bangga banget sama Biru bisa sabar dampingin kamu bolak-balik pengobatan di sela kesibukannya."
"Tapi aku tau, Pa, sebenarnya Mas Biru itu kesepian. Masih mending kalo pernikahan kita udah dikaruniai anak. Paling nggak, aku sama Mas Biru bisa saling menguatkan karena adanya buah hati. Aku justru lebih sakit melihat Mas Biru terabaikan karena ngurusin aku yang penyakitan."
"Iris ... Papa juga udah lama menduda, tapi papa fine-fine aja nggak mikirin perkara seksual terus karena kesibukan di kantor juga udah semrawut," kekeh Rusdy mengerling.
"Tapi, kan, papa baru tiga tahun ditinggal mama. Beda umur dan hormon juga sama Mas Biru yang jauh lebih muda," celetuk Iris tanpa bermaksud meledek sang ayah.
"Sejak kapan omongan kamu jadi ceplas-ceplos gini?" tanya Rusdy karena hampir saja tersedak oleh kopi pahit yang sedang dinikmatinya.
"Maaf, Pa, aku nggak maksud nggak sopan, tapi--"
"Santai, papa nggak marah, kok. Justru papa senang lihat kamu kayak gini. Ceria dan enerjik."
"Mungkin tekanan mental karena penyakit ini bikin aku tegar nerima nasib. Makanya, aku jadi semangat cariin istri kedua buat suami aku," seloroh Iris memamerkan deretan giginya.
Jika Rusdy tidak bisa bersandiwara pada perasaannya, mungkin beliau akan menangis kencang mendekap putrinya. Ia tahu bahwa di sudut terdalam hati Iris ada kesedihan yang menggumpal. Namun, putri tangguhnya tak mau menujukkan kelemahannya. Begitu juga Rusdy tak mau menampakan kesakitannya.
"Nak, kalo suatu saat calon madumu sudah kamu temukan dan suamimu nggak bisa bersikap adil pada dua perasaan wanita, laporkan sama papa supaya Biru melepaskanmu," kata Rusdy membelai surai tipis putrinya.
"Tenang aja, Pa. Aku bukan perempuan lemah. Justru aku bahagia melihat Mas Biru berhasil membuka hati sama perempuan lain," tukas Iris penuh kesungguhan.
Rusdy menatap haru. Tuhan ... apakah ini yang membuat-Mu menjemputnya lebih dulu karena putriku memiliki hati yang tulus?
"Sudah hampir jam makan siang, Pa, aku pamit mau mampir bentar ke kantor Mas Biru." Iris perlahan bangkit setelah melirik jam tangannya karena tujuannya memang ingin berkunjung ke dua tempat sekaligus selagi suasana hatinya senang.
"Yah, papa kesepian lagi, deh." Rusdy memasang wajah cemberut.
"Makanya papa nikah lagi aja supaya ada temannya. Aku yakin mama bakalan kasih restu. Karakter mama, kan, menurun sama aku."
"Hush!"
Iris tertawa renyah sambil melambaikan tangan usai mencium takzim punggung tangan Rusdy sebelum berlalu.
"Hati-hati, Sayang. Salam buat Biru!" Rusdy setengah berteriak dan dibalas jempol Iris yang mengacung.
***

YOU ARE READING
(Bukan) Istri Kedua
General Fiction‼ WARNING : Tidak direkomendasikan untuk readers anti cerita menye-menye ala kumenanges, karena dapat menyebabkan detak jantung meningkat dan tekanan darah tinggi ‼ . Bagaimana jika istri yang dicinta memintanya mendua lantaran demi memenuhi kebutuh...