Part 9

2.5K 360 27
                                    

Biru bisa bernapas lega, akhirnya satu minggu yang digadang-gadang menjadi waktu intens untuk status pengantin barunya telah dilalui tanpa kesan berarti. Meski jauh di lubuk hatinya ada terselip kebanggaan yang tidak terkira telah menjadi laki-laki pertama bagi wanita yang pernah menjadi cinta pertamanya.

Menurutnya, itu adalah bagian dari karma atas apa yang telah Jingga lakukan di masa lalu. Nyatanya, laki-laki yang dulu diremehkan telah berhasil menaklukannya, bahkan mencicipi tubuhnya dengan cara keji. Biru makin tak sabar mempercepat waktu agar segera mencampakannya--jauh lebih hina dari apa yang yang telah Jingga perbuat.

"Mas, maaf ya, aku nggak bisa anter ke depan. Aku pingin cepet-cepet kembali ke kamar," sesal Iris menahan lengan Biru yang menenteng tas kerjanya.

"Nggak apa-apa, kamu istirahat aja. Semalam aja kamu beberapa kali mengigau." Biru merunduk mengecup sayang ubun-ubun kepala Iris. Ya, semalam ia memaksa tidur di kamar yang biasa mereka tempati meski Iris memintanya menemani Jingga di kamar sebelah. "Maaf, pasti gara-gara kemarin kamu tidur sendirian tanpa aku," rutuknya menyesal.

"Nggak, Mas. Bukan itu alasannya. Ini, kan, emang murni siklus kondisi badan aku. Aku sendiri juga udah nggak kaget sama kesehatan aku yang makin menurun."

"Iris ..."

"Udah, ah, Mas, pagi-pagi nggak usah melankolis. Buruan berangkat! Katanya ada klien baru yang mau ditemuin," kilah Iris mendorong pelan tubuh jangkung Biru setelah mencium punggung tangan kepala keluarganya. "Jingga, antar Mas Biru ke depan, ya," lanjutnya memanggil wanita yang berada di seberang meja makan yang sama.

"Nggak usah. Kamu temenin Iris aja di sini." Biru menolak halus saat Jingga sudah berdiri, membuat wanita berambut sepunggung itu serba salah.

"Kan, ini juga termasuk tugasnya sebagai istri kamu, Mas. Setiap hal yang nggak bisa aku lakuin, Jingga harus menggantikannya." Iris tetap pada pendiriannya.

Malas berdebat, Biru memilih mengiyakan dengan anggukan kepala tanpa suara, lantas beranjak menjauh.

"Jingga, kamu jangan tersinggung sama sikap Mas Biru, ya? Nanti juga lama-lama dia akan terbiasa sama kehadiran kamu," hibur Iris melihat wajah sendu madunya.

"Iya, Mbak, nggak apa-apa. Saya ... eh, aku juga nggak masalah, kok."

Sebelumnya Jingga sudah diperingati untuk tidak lagi berdialog menggunakan kata 'saya' karena menurutnya terlalu berjarak. Lagi pula, meskipun Iris sebagai kakak madunya, keduanya mempunyai kesamaan usia yang akan menanjak di angka 28 tahun ini, sementara suami mereka akan semakin matang di usia 35 tahun.

"Ya, udah, cepat kejar Mas Biru. Jangan lupa cium pipi kanannya, loh."

Seketika Jingga membeku.

"Eh, kok, malah bengong? Nanti keburu Mas Biru pergi."

"I-iya, Mbak."

"Atau jangan-jangan kalian belum--" Iris menyipitkan mata mengamati serius raut wajah pias Jingga.

"Maaf, Mbak, aku ke depan dulu, ya." Sebelum wanita di depannya semakin jauh mencurigai, lebih baik Jingga cepat menghilang dan mengejar laki-laki ketus yang sudah bersiap membuka pintu mobil. "Mas Biru!" panggilnya setengah berteriak.

Kedua netra Biru menatap sinis. "Kamu pikir aku tuli teriak sekencang itu?"

"Maaf, aku cuma--"

Biru terperangah saat pipi kanannya dikecup lembut, bahkan saat keterkejutan masih melingkupi, jemari kanannya diraih tanpa izin, lantas punggung tangannya mendarat tepat di bibir hangat nan kenyal. Sehingga tanpa sadar Biru mengucapkan salam lebih dulu dan dibalas suara lembut itu.

(Bukan) Istri KeduaWhere stories live. Discover now