2. I Know You

105 8 0
                                    


Gia beranjak meninggalkan taman tapi seseorang tak sengaja menabraknya dari belakang dan membuat tas mungil yang ia bawa terjatuh.

"Menyebalkan," lirihnya, air mata yang sedari tadi ia tahan kini terjun bebas di pipinya.

Ia mengemas barangnya yang terjatuh, "Mengapa semua jadi berantakan," samar-samar ingatan masa lalunya menguar membuat tangis gadis itu tak terkendali.

Terlihat dari kejauhan seorang pria menghampiri Gia, sehingga dengan segera ia menghapus sisa air matanya.

"Hai Gia!" sudut bibir pria itu terangkat menampakkan gigi rapihnya, "Apa kabar?"

Gia mengernyitkan dahi mencoba mengingat wajah pria tampan yang lebih tinggi kira-kira 15 cm dari dirinya itu.

"Apa kau mengingatku?"

"Aku Ganif, teman sekelasmu." Sambungnya. Ah benar, Gia baru mengingatnya, ia adalah Manggala Ganif Ardhana, teman sekelas Gia yang populer semasa SMA.

Gia mengangkat sudut bibirnya, "Mana mungkin aku melupakan idolanya SMA 1 Widyatama."


***


"Kau mau teh?" tanya Ganif

"Boleh," Gia menoleh pada pria itu, "Pure Chamomile" tambahnya. Mereka berada disebuah kafe yang bangunannya tampak seperti bangunan Belanda, duduk dimeja persegi menghadap jendela kaca dengan pemandangan kota yang telah ramai.

"Akhirnya kau berhasil meraih impianmu menjadi seorang Designer," celetuk Ganif

Gadis itu sedikit tersentak, tak menyangka jika teman yang bahkan jarang bertegur sapa itu mengingat impiannya. Ia hanya mengeluarkan senyum tipis di bibir tipisnya "Kau juga cocok jadi dosen, pasti mahasiswa betah di kampus." Kekeh Gia yang dibalas senyum manis pria disebelahnya.

Daniar sering bercerita tentang keadaan teman-teman SMA, tak ayal Gia sedikit banyak mengetahui tentang Ganif, dosen muda yang digandrungi para mahasiswi.

Hanya sedikit obrolan yang terjadi diantara mereka, terasa sunyi dan canggung.

"Bagaimana kabarmu dan dia?" tukas Ganif memecah keheningan diantara mereka.

Gia menatap Ganif was-was, mencoba menerka kemana arah pertanyaan teman lamanya itu, "Siapa?"

"Bagas. Kalian dulu kekasih bukan?" Ganif menilik Gia penasaran.

Benar saja dugaannya bahwa pria ini akan menanyakan pertanyaan yang selalu ia hindari, pertanyaan yang sukses menceloskan jantungnya.

Sial. Kenapa harus pertanyaan ini sih. Batin Gia.

"Putus," Gia menyeruput Chamomile Tea ditangannya mencoba tenang, "Aku sudah lama tak bersamanya." dengan sekuat tenaga gadis itu mengangkat kedua sudut bibir, memaksakan senyuman diwajahnya.

Hati pria itu sedikit lega mendengar jawaban Gia, "Kukira kalian masih bersama," ia mengalihkan pandangan menuju jendela kaca di depannya. "Karena dulu kau terlihat sangat menyukainya."

Hal yang tak pernah Gia suka ketika bertemu teman lama, karena banyak dari mereka yang mengetahui masa lalunya. Andaikan ia tau akhir kisah cintanya seperti ini, akhir hidupnya seperti ini ia tak akan dengan bangga memamerkan hubungannya. Sungguh memalukan.

"Namanya juga bukan jodoh," sahut Gia yang tanpa ia sadari pria disampingnya itu menyunggingkan senyuman.

-

-

-

Matahari telah bersembunyi tergantikan oleh rembulan yang menerangi langit. Gia berada di apartemen bersama seorang gadis berambut sebahu yang tengah berbaring dengan laptop di depannya. Ia sering membawa sahabatnya itu ke apartemen apalagi ketika suasana hatinya sedang tidak baik.

"Kalau saja ada orang seperti Hyunbin oppa aku akan segera membawanya pada orang tuaku," celetuk Daniar

"Bukankah dari dulu kau tak menyukai tentara?"

"Pengecualian kalau tentaranya seperti Hyunbin oppa." Kekeh gadis cantik itu yang hanya dibalas decihan oleh Gia.

"Oh ya, kau bilang tadi bertemu Ganif?" tanya Daniar tiba-tiba.

"Hm."

Mata Daniar terlihat berbinar, "Ah pasti dia semakin tampan."

Gia memutar bola matanya malas mengetahui kebiasaan sahabatnya itu yang tak berubah dari dulu.

"Kau tau alasanku tak pernah menemui teman SMA?" 

Daniar menenggak sekaleng soda kemudian memandang Gia, "Kenapa? dia bertanya tentangmu dan Bagas?" 

Gia menganggukan kepala menanggapi pertanyaan Daniar.

"Yah, itu karena dulu kau jadi budak cintanya. Sampai melabrak adek kelas agar tak mendekati pria pujaan."

Mata gadis itu menerawang jauh, "Aku tak mengingat hal itu."

"Yang ada diingatanmu saat itu hanya Bagas, Bagas dan Bagas. Bagas was your world." 

Daniar mengetahui segalanya karena mereka berteman sejak sekolah menengah atas. Hidupnya, bahagianya, sedihnya ia tau semua yang ada pada diri Gia.

Gia membenamkan kepala pada boneka di pangkuannya, "Andai aku tak menyukainya sebanyak itu. Menyebalkan."

Daniar menepuk pundak sahabatnya, "Kau masih menyukainya?"

Mata Gia mendelik tajam mendengar pertanyaan itu, sudah dipastikan tak ada lagi rasa untuknya. Ia sudah mencoret nama itu dari hatinya, ia hanya marah dan kecewa dengan semua hal yang berhubungan dengan Bagas.

"Sudahlah lupakan saja dia, waktunya untuk move on. Aku bahkan mengingatkanmu berkali kali agar menjauhinya. Aku tau firasatku tak parnah salah." Dari dulu Daniar tak pernah menyukai Bagas, ia selalu menyuruh Gia tak terlibat dengan lelaki itu dan sekarang Gia menyesal tak menghiraukan perkataan sahabatnya. Memang, restu sahabat sangatlah penting.

Gia merebahkan diri di sofa menerawang jauh menatap langit kamarnya. Memori indah dimasa lalu menari-nari dikepalanya, memperlihatkan betapa bahagianya ia kala itu. Kebahagiaan yang mungkin tak pernah ia rasakan lagi. Kekosongan terus menyeruak dihatinya, ia merasa hidupnya tak seperti sedia kala.

Daniar menepuk punggung Gia, mencoba membuatnya tenang. Ia tau sakit yang selama ini sahabatnya rasakan, meski tak mengalaminya langsung hal itu turut membuatnya terluka.

A Walk Through The TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang