09 || Personal Branding

188 33 2
                                    

Hampir semua siswa mengeluh karena pagi-pagi sekali Pak Ezra menginstruksi mereka untuk berkumpul di aula sekolah. Itu sangat mendadak sehingga semua yang duduk tampak tidak begitu antusias.

Selang beberapa menit, kursi bersusun meninggi itu telah penuh. Seorang ber-jas rapi terlihat naik ke atas podium. Orang-orang pun mulai menduga isi pidato kali ini.

"Selamat pagi, Anak-anak," sapa Pak Ezra. "Pagi ini bapak minta waktu sebentar untuk menyampaikan beberapa arahan."

Para siswa mulai mendengarkan.

"Sekolah kita sudah terlalu banyak mengalami berbagai hal buruk hingga kejadian kelam. Kami para guru-guru pun sepakat untuk memperketat terkait pergaulan di sekolah ini."

Rei berbisik ke telinga Aiza. "Kutebak setelah ini kita semua dilarang untuk berteman."

Benar. Topik pidato kepala sekolah tidak akan jauh mengenai kejadian-kejadian yang lalu. Sepertinya untuk beberapa waktu ke depan mereka harus mendengar hal yang sama berulang-ulang.

Kemudian terdengar pidato telah sampai pada intinya.

"Beberapa hal yang bisa kalian lakukan agar terhindar menjadi korban perundungan. Yang pertama, kalian harus menjadi siswa yang percaya diri dan berprestasi."

"Bukankah Nina, siswi angkatan keempat bunuh diri karena dia terlalu berprestasi?" ujar seorang siswa.

"Yang kedua," lanjut kepala sekolah. "Bertemanlah dengan banyak orang."

Siswa yang lain ikut menyeletuk pelan. "Diara juga punya banyak teman."

"Yang ketiga, jangan tunjukkan kalau kalian takut dan lemah."

Beberapa siswi diam-diam bergosip. "Coba kuingat! Amara, gadis pertama yang bunuh diri di sekolah ini, dia adalah atlet silat."

Hingga Pak Ezra menyampaikan poin terakhir, para siswa masih tidak dapat menemukan letak korelasi kenapa sebenarnya seseorang di-bully. Hampir semua siswa bunuh diri di SMA Noesantara punya semua yang seharusnya membuat mereka selamat dari perundungan.

"Segala yang berlebihan itu tidak baik. Jadi, kami berharap kalian semua dapat berteman dengan cara yang bijak." Pak Ezra menoleh sejenak ke arah Pak Hilmi. Keduanya tampak sedang menyepakati sesuatu. "Jika kami mendengar pengaduan terkait perundungan, sekolah tidak akan segan-segan memberi hukuman yang berat, bahkan jika dia harus dikeluarkan dari sekolah."

Sebagian besar siswa di sana tak menunjukkan raut ketakutan dengan ancaman itu.

"Mental mereka saja yang memang lemah!" seru seseorang di tengah-tengah pidato.

Rei yang tak jauh dari tempat duduknya melotot. "Betapa ringannya mulutmu itu! Memangnya kau tahu apa yang mereka rasakan? Kau saja tidak pernah di posisi mereka."

Aiza yang juga mendengar itu hanya berupaya menenangkan Rei.

"Jika kau ingin aku memaafkanmu, coba kau bungkam kata-kata orang itu barusan. Di depan semua orang," tantang Zahi yang duduk tepat di belakang Aiza.

Aiza sedikit tersentak. Alasan dia dari tadi tak tertarik menoleh ke belakang memang benar sebab kejadian kemarin. Sampai sekarang Aiza masih merasa bersalah, tapi ia tak habis pikir jika Zahi begitu menginginkan permintaan maaf darinya.

Hingga tak lama kemudian, Aiza benar-benar berdiri. Semua mata lantas mengarah padanya. Pak Ezra pun menanyakan maksud Aiza masih dengan mic-nya.

"Izinkan saya, Pak," ucap Aiza setengah berteriak.

Kepala sekolah pun mengangguk tanda setuju.

Aiza mulai turun dari kursi bertingkat itu. Dada Aiza tiba-tiba berpacu seiring langkah kakinya. Tangannya mengepal menahan rasa takutnya sendiri. Ini bukan tentang ingin dimaafkan oleh Zahi atau pun melawan kata-kata gadis itu. Tapi tentang seberapa pantas ia sebenarnya berada di sana selama ini. Ia akan mengujinya.

CONSEMAWhere stories live. Discover now