21 || Tugas Baru

152 25 3
                                    

Aiza baru saja turun dari taksi yang berhenti tepat di depan ruko bibinya. Langkahnya yang semula buru-buru tiba-tiba tertahan di pangkal tangga, lantas menoleh ke ujung sofa. Ada yang menatapnya.

Situasi mendadak canggung. Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, keduanya seperti tak ingin menyinggung hal apa pun.

Setelah beberapa saat saling bergeming, Aidan inisiatif menaruh majalahnya. "Tumben pulang cepat. Bibi bilang biasanya kau pulang jam 4 dari lab ayah."

"Aku hanya memberikan jawaban Fisika minggu lalu dan pulang."

Aidan gelagapan. Matanya refleks beralih ke arah luar. Niat awalnya runtuh sebab pertanyaannya justru membawanya kembali dalam bahaya.

Dia melirik gelagat sinis adiknya yang ingin cepat-cepat pergi dari sana. Daripada memperkeruh suasana, laki-laki bongsor itu memutuskan untuk mengabaikan kejadian barusan. "Tidak perlu merasa terancam begitu. Aku mampir cuma demi coklat panas buatan bibi." Kemudian lanjut mengangkat majalahnya hingga menutupi wajah.

'Terancam?'

Aiza tak yakin apa maksud kalimat abangnya barusan, tapi sepertinya dia tahu tujuan sebenarnya Aidan datang ke sana.

"Jangan malas. Dispensernya ada di sana." Menunjuk mesin penyaji di sebelah pot bunga lalu mulai menaiki tangga. Mencoba berlagak tak peduli. "Cukup tekan tombolnya dan coklatnya akan keluar."

Setelah Aiza tiba di atas, Aidan langsung menyingkirkan majalah bertema gaya hidup itu. Matanya kemudian tertuju pada dispenser coklat di ujung ruangan. Merenunginya hingga beberapa saat. Dia harus meminta maaf pada coklat panas karena menjadi tumbal kebohongannya hari ini. Kini Aidan benar-benar bingung harus bagaimana untuk memulai meluruskan keadaan dan memperbaiki hubungan keluarganya.

ᴄᴏɴꜱᴇᴍᴀ


Di kamar, Aiza langsung melemparkan tas jinjingnya ke atas kasur. Ketika tubuhnya hampir ikut tumbang bersama guling dan bantal, tapi matanya justru mendapati komputernya yang masih menyala. Dia ingat belum mematikan komputernya sebelum pergi ke lab. Gadis itu hampir menyumpahi dirinya sendiri atas kelalaian tersebut.

Bukannya mematikan komputer, Aiza malah mengambil posisi duduk alih-alih kembali ke seprai hangatnya. Dia pikir ia harus memanfaatkan waktu luangnya.

Sementara matanya fokus pada layar, Aiza tak sadar ketika tangannya meraih gelas putih di sisi meja, lalu termenung setelah mengetahui gelas itu kosong. Kepalanya menoleh ke arah pintu, tapi sayang dia harus mengesampingkan keinginan untuk minum coklat panas sebab tak ingin bertemu Aidan di bawah.

Seperti mendengar rintihan Aiza, notifikasi dari Aidan seketika muncul di ponselnya.

'Sampai kapan kau begini?'

Awalnya Aiza agak bingung, tapi akhirnya dia mengerti maksud pesan ambigu tersebut.

'Entah, karena bukan aku yang mulai. Abang bisa tanya langsung dengan Ayah'

Napas Aiza berembus panjang setelah menelungkupkan ponselnya kembali di atas meja. Sebenarnya itu bukan jawaban yang tepat karena dia sendiri pun tak tahu bagaimana merespons perang dingin ini. Aiza juga tidak sebenci itu dengan abangnya, hanya saja dia tidak ingin membahas masalah itu lagi dan lagi. Untuk seukuran gadis labil yang mudah terbakar emosi, tentu dirinya agak menyesali atas perkataannya waktu itu.

Aiza lalu menggeleng kuat. Sekali lagi dia menepis pikirannya yang suka melayang ke mana-mana dan memutuskan untuk membuat dirinya sibuk dengan komputer saja. Kini, entah sebab apa Aiza tiba-tiba tertarik membuka web sekolah, padahal dia paling tidak suka situs itu.

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang