First snow

143 27 6
                                    

Matahari sudah mulai mengucap salam pada sang pemukim semesta yang masih mengistirahatkan tubuhnya dari masalah dunia yang kian mencekik leher mereka.
David sedari subuh tidak sekalipun menutup matanya. Ia dengan betah menatap dalam manik mata Jezia yang terpejam. Dengan disertai dengkuran halus yang terdengar menggelitik jantung dan indera pendengarannya, David dengan betah menatap wajah damai Jezia yang tertidur pulas.
Semenjak satu jam yang lalu matanya terfokus pada satu titik. Satu titik keindahan semestanya.
Mentarinya.
Burung kecilnya.

Tangannya mengusap pelan punggung Jezia yang terlelap. Hari sudah pukul 06.08 tapi David tidak berniat diri untuk membangunkan Jezia dari mimpinya.
Biarlah gadis itu bermimpi sesuka hati, yang terpenting mimpi yang datang kepadanya bukanlah mimpi buruk.

Bibirnya selalu bergumam, bersenandung kecil. Menggumamkan lafadz sholawat seakan-akan gadis yang ada didekapanmya ini adalah gadis kecil yang masih suci, yang masih butuh rangkulan didunia.

David tau ini salah.
Tapi saat ini sejenak ia merasa ingin sedikit serakah. Memeluk tubuh kecil ini dengan erat seakan menjaga tubuh kecil ini dari kekacauan dunia.
Kekacauan dunia yang sedang terjadi saat ini.

David merasakan kepala yang berada dibawah dagunya ini bergerak kecil, semakin menelusupkan diri pada dada bidangnya.
"Bangun je.. ini sudah hampir pukul delapan. Kamu gak mau bangun hm?" David berucap pelan dengan wajahnya yang berusaha untuk menunduk, berusaha menatap wajah Jezia yang saat ini semakin disembunyikan oleh sang empu.

"Bangun je.. sarapan"
Sebagai jawaban Jezia menggeleng pelan. Kepalanya semakin ia telusupkan kedalam leher putih David yang terekspos oleh manik matanya.

"Jezia.."

"Aku nggak laper" Jezia menjawab singkat.

"Bangun sebentar, makan dulu terus bobo lagi hm? Makan dulu ya nanti jatuh sakit" David mempuk-puk kepala Jezia dengan teratur. Wajah gadis itu ia raup asal, berupaya membuat gadis itu membuka mata.

"Mas..." Rengeknya. Malas, rasanya sudah nyaman dipeluk oleh David seperti ini. Jarang bahkan hampir tak pernah ia merasakan pelukan saat tertidur dan bangun masih dengan dekapan hangat yang sama.

"Wake up bocil. Setelah makan kamu boleh tidur lagi"

Jezia menjawab dengan gelengan tegas. Keras kepala, tapi hatinya tak bisa berbohong dibuat berdebar hebat. Panggilan apalagi tadi? Semakin hari David semakin terbuka dengannya? Tak malu-malu kucing lagi? "gak mau, habis makan gak boleh tidur lah?"

"Yasudah bangun dulu je... Sebentar, beli makan habis itu kita kerumah sakit. Gak kangen papa?" Ujaran kata terakhir David membuat Jezia membatu. Bibirnya mengerucut sebal.

"Cium kening dulu!" David terbelalak terkejut.
"Nggak ada cium-cium! Gak usah aneh-aneh. Bangun!"

"GALAK"

"Engga galak kalau kamu nurut. Bangun terus ke rumah sakit sambil ngerjain tugas kamu. Lihat tugas kamu numpuk belum di kumpulin ke dosen" David beranjak dari ranjang. Mengambilkan jaket tebal Jezia yang berada dilemari pakaian gadis itu.

"Kenapa pake jaket tebel? Gerah mas."
David melirik sebentar Jezia yang masih sesekali memejamkan matanya, "diluar sepertinya lagi turun salju. Pakai jaket yang tebel, sama bawa hotpack." sejenak jezia menoleh kearah pilar jendela terlihat banyaknya salju turun.

"Ada matahari tuh, berarti gak salju" ucapan polos Jezia mengundang gelak tawa bernada rendah dari David.
Lelaki itu tergelak, dengan tangannya yang menangkul sisi wajah kecil gadis itu.

"Gemes. Kenapa semua yang ada di diri kamu itu kecil je?" Jezia mendelik. Apa tadi? Telinganya tak salah mendengar kan?
Ingat, ia adalah kpopers garis keras, jadi pemikirannya mulai harus dibersihkan dengan sabun DAIA.

Di Dalam Sangkar [COMPLETED]Where stories live. Discover now