33

24 2 0
                                    

Setelah melewati hari yang penuh dengan kelelahan, Fani berpikir mengistirahatkan badannya sebentar mungkin pilihan yang tepat. Setelah selesai dengan acara membersihkan badannya, Fani langsung merebahkan dirinya diatas kasur yang selama 4 tahun ini tidak dia tiduri. Fani menjatuhkan badannya ditengah-tengah kasur dengan posisi telentang dan matanya yang menatap langit-langit atap. Berkali-kali Fani menghembuskan nafasnya pelan, bingung sedang menyerang pikirannya saat ini.

Niat awal ingin beristirahat malah dirinya dibuat untuk terus bergelut dengan kebimbangan. Keputusan untuk berpisah dengan Ray akan dia lanjutkan atau dia hilangkan? Fani pernah bilang bukan, kalau dirinya ingin berpisah dengan Ray karena mengingat dikehidupan Ray juga ada Lea, dan andai Lea tidak ada kemungkinan keputusan untuk berpisah tidak Fani ambil. Fani pernah mengucapkan itu. Dan sekarang keadaan sudah seperti yang Fani andai-andaikan tapi masih saja ada kebimbangan di hatinya. Yang paling mendominasi sebenarnya rasa takut, takut kejadian seperti dulu terulang lagi.

Kalau ditanya bagaimana perasaan Fani ke Ray sekarang? Semuanya masih sama seperti dulu. Dan yang jadi pertanyaan Fani, perasaan Ray ke dirinya sekarang bagaimana? Masih sama seperti dulu atau hanya menganggap sebagai teman disaat kesepian sedang Ray alami. Intinya semua harus dipastikan dengan jelas jangan sampai keputusan yang diambil membuat dirinya menyesal nantinya.

"Tuhan, jangan buat hati ini sakit dan pikiran ini lelah lagi. Tolong beri petunjuk, petunjuk ke arah mana dan ke jalan mana yang harus Fani ambil. Kembali ke Ray atau berpisah dari Ray?"

Fani tampak terdiam sebentar, lalu dengan cepat dirinya bangkit dan berlari keluar kamar. Tujuannya sekarang adalah kamar mamanya. Mamanya akan menjadi teman curhatnya malam ini, semoga Fani bisa mendapat secercik cahaya agar dia tidak terlalu bergelut dengan kebimbagan hati.
Fani mengetuk pintu kamar mamanya pelan, "Ma, mama dikamar?"

"Iya sayang. Masuk aja."

Setelah mendapat respon dari mamanya, Fani masuk ke dalam kamar milik mamanya, ralat.. lebih tepat kamar orangtuanya. Fani tersenyum mendapati mamanya yang sedang memasuk-masukkan pakaian papanya yang sudah bersih ke dalam lemari pakaian. Fani memilih untuk duduk di sisi ranjang sembari menunggu kegiatan mamanya selesai.

"Kenapa sayang?" ucap Amy bertanya kepada Fani.

"Jadi teman curhat Fani sebentar ya?"
Amy menoleh ke arah Fani, lalu mengangguk pelan. Melihat wajah Fani saja Amy tahu betul anak perempuannya sedang tidak baik-baik saja. Memang ini yang Amy mau, Fani tanpa canggung mau berbagi cerita dengannya, karena sesempurna apapun, seberharga apapun seorang ibu belum lengkap rasanya jika tidak bisa menjadi teman curhat anaknya. Amy bersyukur karena bisa menjadi teman curhat anaknya, bisa memberi saran kepada anaknya, dan bisa ikut merasakan apa yang anaknya rasakan.

"Papa kemana ma?" ucap Fani berbasa-basi sedikit.

"Dikantor, lembur katanya."

Fani mengangguk paham dan disaat itu juga Amy selesai dengan pekerjaannya, lalu ikut mendudukkan dirinya disamping putri kesayangannya itu. Amy mengelus rambut panjang Fani dengan lembut, dan mencium pipi Fani sebentar sebelum mulai mendengarkan putrinya bercerita.

"Mau curhat apa?"

"Emm ma, keputusan mana yang harus Fani ambil sekarang? Tetep pisah sama Ray atau balik sama Ray? Fani benar-benar dibuat pusing sama itu. Fani takut salah pilih dan berimbas ke masa depan Fani."

"Sebelumnya mama mau tanya, apa yang membuat kamu ambil keputusan untuk pisah sama Ray?"

Fani tak langsung menjawab pertanyaan yang dilontarkan mamanya, dia justru menatap mamanya dengan raut wajah yang susah dijelaskan, "K-karena Lea. Karena kehadiran Lea di kehidupan Ray, karena Fani pikir mereka pasti udah berkeluarga apalagi kita tau sendiri kan ma apa yang dulu Ray lakuin ke Lea, dan terbukti ada Rafa sekarang."

Kisah Kita [Nikah Muda vers.2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang