GESA berpangku tangan di beranda rumah, menunggu Yasa yang belum pulang dari sekolah. Padahal, Gesa berpesan untuk tidak pulang sore karena hari ini adalah jadwal pemeriksaan Yasa setelah dua pekan menjalani prosedur bayi tabung. Sekarang hampir pukul 4 sore dan Yasa masih belum pulang. Perempuan itu hanya mengirim pesan, Sebentar lagi saya pulang, rapat wali kelas dulu.
Sudah tak terhitung Gesa melirik jam tangannya sendiri. Sudah tak terhitung pula helaan napas yang begitu jemu terdengar dari bibir Gesa. Hingga akhirnya, suara motor matic terdengar dari pekarangan rumah. Gesa memincingkan matanya, menatap dua orang yang menumpangi kendaraan beroda dua itu.
Ternyata, Yasa diantar pulang oleh seorang pria. Jujur, Gesa cukup penasaran pada pria berseragam guru itu. Bukan sekali Gesa melihat pria itu. Di hari pernikahannya bersama Yasa, Gesa juga bertukar senyuman bersama pria yang sama, pria yang Yasa tatap dengan begitu dalam dari kejauhan.
“Hatur nuhun, A Nuril.”
Sayup-sayup, Gesa bisa mendengar ucapan Yasa. Meski tidak begitu jelas, setidaknya Gesa mengetahui nama pria itu.
“Nuril ….”
Manik legam Gesa tak lepas menatap dua orang di sana. Gesa bahkan dapat menyaksikan bagaimana Yasa tersenyum dan bersenda gurau dengan pria itu. Gesa bukan cemburu, tapi tak patut rasanya bagi Yasa untuk pulang bersama pria lain. Tak patut rasanya bagi Yasa untuk bersenda gurau bersama pria lain di depan Gesa. Tanpa sadar, rahang Gesa mengeras. Urat di lengannya mencuat karena kepalan tangannya sendiri. Setiap langkah yang Yasa ambil, seakan menambah gejolak perasaan Gesa yang entah kenapa sangat tak suka melihat pemandangan Yasa dan Nuril.
Bersama perginya motor matic dan pemiliknya, akhirnya Yasa sampai di beranda rumah dan langsung terkejut karena figur Gesa yang berdiri dengan pandangan mengerikan.
“Maaf ... lama,” cicit Yasa pelan. Dia hampir melupakan bahwa Gesa tengah menunggunya sejak tadi siang. Perempuan itu menundukkan kepalanya.
Gesa tersenyum kecil. Dia tatap figur Yasa yang menyembunyikan wajahnya dengan sempurna. “Jadi, begini cara kamu menjaga kehormatan sebagai istri saya?” tanyanya.
Pria itu tengah memandang patut pada tanggung jawab Yasa sebagai seorang istri. Karena bagaimanapun, Yasa masih terikat pada Gesa, status Yasa masih sebagai seorang istri untuk Gesa. Bahkan, calon buah hati Gesa ada di rahim Yasa saat ini. Sebenarnya, Gesa tidak mau marah, tapi dia muak saat Yasa membuatnya menunggu. Dia pandang lekat manik legam milik Yasa di sana.
“Tiga jam saya nunggu kamu di sini! Jika kamu bukan istri saya, jika kamu bukan perempuan yang akan mengandung anak saya ... saya gak peduli. Mau kamu pulang jam berapa, bersama siapa pun, silakan! Silakan kamu mau melakukan apapun, bebas! Saya gak akan larang! Tapi, ingat! Sekarang kamu siapa, Yasa!” Gesa menatap perut Yasa yang masih rata dengan sempurna di tempatnya. “Anak saya yang akan kamu kandung!”
Suara lantang Gesa benar-benar menusuk pendengaran Yasa. Perempuan menghela napasnya sebentar. “Saya gak lupa, Pak Gesa! Tapi, anda tidak ingat kalau saya hanya perempuan yang menjajakan rahim! Tidak lebih dari itu!”
Dua orang itu saling berteriak, menyuarakan perasaan yang mereka yakini hayalah bentuk nyata dari sebuah rasionalitas. Hingga tanpa mereka sadari, lantangnya suara mereka mengundang beberapa orang yang tak sengaja lewat di depan rumah. Layaknya menonton sebuah pertunjukkan di depan sebuah layar yang begitu besar, orang-orang itu seakan tak memiliki rasa malu untuk merasa enggan. Beberapa pasang mata tertuju langsung pada Yasa dan Gesa yang masih berdiri di ambang pintu rumah.
Gesa memalingkan wajahnya. Dia menghela napasnya. Dia tarik lengan Yasa dengan kasar dan bawa perempuan berbaju batik itu ke dalam rumah. Bantingan pintu dari pria berbada tinggi itu bahkan bisa menggetarkan beberapa jendela rumah yang saat ini masih terbuka. Dia terus membawa Yasa hingga mereka sampai di dalam kamar. Tangannya juga begitu cepat menguncinya dari dalam.
“Apa yang tadi kamu bilang, Yas? Tidak lebih dari itu? kamu lupa dengan pernjajian itu?”
“Pak Gesa! Sepertinya anda belum tahu, saya bukanlah tipe istri yang membangkan, tapi suami seperti apa dulu yang harus saya patuhi?” Suara Yasa tak kalah lantang “Suami yang memiliki istri lain? Atau suami yang membeli kehormatan seorang perempuan demi—”
Ucapan Yasa terpotong karena Gesa membungkam bibir Yasa dengan bibirnya. Pria itu menarik tubuh Yasa hingga tak tersisa jarak satu inci pun di antara mereka berdua. Gesa juga begitu cepat mengunci pergerakan kedua tangan Yasa dengan genggamannya.
Di sana, umpatan Yasa benar-benar terbungkam. Perempuan itu terus memalingkan wajahnya, menghindari tuntutan Gesa. Bukannya berhenti, Gesa makin liar menguasai Yasa. Nafsu yang sejak lama terpenjara dalam diri Gesa, akhirnya membudal. Saat ini juga Gesa menginginkan Yasa. Gesa menginginkan dosa dan penyesalan yang dia rindukan.
Yasa mengusap kasar bibirnya yang basah karena saliva Gesa. Bibir ranum itu terasa berkedut dan membengkak. “Bajingan!” umpatnya.
“Saya ingin lebih dari itu, Yas.”
Ucapan Gesa langsung Yasa balas dengan sebuah tamparan. Suara kulit yang beradu dengan kulit seakan-akan menggema dalam ruangan yang tertutup itu. Wajah Gesa terpaling karena tamparan kecil dari jemari lentik Yasa. Namun, rasa perih yang mulai menjalar di pipi Gesa malah membuatnya makin menginginkan Yasa. Dia kembali membawa Yasa dalam dekapannya. Dia jerat tubuh indah perempuan itu dalam kungkungannya.
Dengan tidak sopan, tangan kekar Gesa menelusup ke dalam baju Yasa. Setiap kenikmatan yang Yasa miliki di dalam sana, Gesa sentuh satu per satu. Gesa puja setiap lekuk indah tubuh Yasa. Pria itu juga tak segan meninggalkan tanda kepemilikan di setiap lekuk cantik leher Yasa.
“Saya bukan pelacur yang akan melayani nafsu bejad anda!” Yasa berteriak histeris. Tangannya tak henti memukul tubuh Gesa. Kakinya juga tak henti mendendang tanpa arak. Namun, semua usaha Yasa sia-sia. Tubuh Gesa yang terbentuk sempurna itu bukanlah tandingan Yasa.
Gesa malah mengangkat tubuh Yasa. Dia baringkan tubuh yang masih berontak itu di atas ranjang. Belum sempat Yasa berusaha untuk bangkit, Gesa kembali memikat tubuh Yasa dengan keelokan tubuhnya. Bukan amarah yang Yasa lihat dari sorot mata Gesa saat ini. Manik legam itu sudah dipenuhi oleh kabut nafsu. Singa yang terpenjara dalam diri Gesa seakan-akan akan keluar saat ini juga dan memamerkan taringnya pada Yasa.
Tubuh Yasa mulai bergetar ketakutan. Dia menangis dan memeluk dirinya sendiri. Dia dengan sekuat tenaga menhhalangi pergerakan Gesa yang ingin kembali menjamah tubuh Yasa.
“No, Baby ... aku tidak menginginkan seorang pelacur, aku hanya ingin melihat tubuh indah dari istriku sendiri.” Gesa tak menghiraukan tangisan Yasa. Rintih pilu Yasa seolah menjadi lagu indah bagi Gesa.
“S—saya mohon …,” lirih Yasa.
Gesa benar-benar mampu mengedalikan Yasa dalam kungkungannya hingga Yasa tak kuasa untuk memberontak.
“Wajar suami-istri melakukan hal seperti ini, Yasa,” bisik Gesa tepat di telinga Yasa. Suara itu terdengar mendayu-dayu saat masuk ke indera pendengaran Yasa yang kini terasa pengang.
Perlahan, Gesa beralih untuk memandangi kemolekan tubuh Yasa tanpa penghalang sedikit pun. Gesa merindukan pemandangan ini, Gesa merindukan debar jantung ini, bahkan Gesa juga merindukan perasaan bahagia ini. Gesa tak bisa menahan dirinya lagi.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...