18. Larangan

23.5K 1.6K 82
                                    

GESA tatap kedua bola mata Elfara. Dulunya, kedua bola mata itu selalu terasa indah. Banyak sekali kemesraan yang dulunya Gesa lihat dari manik cekolat Elfara. Banyak sekali harapan yang dulunya Elfara berikan untuk Gesa. Namun, sekarang, hanya sebuah bualan akan kehampaan. Semakin dalam tatapan itu Gesa labuhkan, semakin dalam dia menyiksa batinnya sendiri. Harus sampai kapan Gesa melihat Elfara dengan kondisi seperti ini, duduk lemah di sebuah kursi roda yang bahkan rodanya takkan bisa bergerak tanpa dorongan orang lain.

Gesa tatap wajah cantik Elfara yang masih diselimuti oleh kekecewaan. Wajah itu masih sama. Debar jantung Gesa juga masih sama. Masih sama seperti saat Gesa menjatuhkan hatinya pada Elfara. Dulunya, senandung cinta Elfara terdengar menembus relung hati Gesa. Getar hati Elfara tertuju langsung untuk Gesa. Namun, sekarang, hanya rintihan hati yang membawa kekalahan jiwa yang mencinta. Bukan maksud Gesa untuk menyalahkan kondisi Elfara. Tetapi, Gesa tak sanggup jika dia harus memeluk luka yang terus menggerogoti hatinya.

“Kamu lelah, ya?” Tak tahu dengan alasan apa pertanyaan itu muncul dari bibir pucat Elfara. Perempuan cantik itu menatap sendu manik legam Gesa. “Kamu pasti lelah, ‘kan?” tanyanya lagi.

“Kenapa aku harus lelah?” tanya Gesa.

“Karena aku sakit ... aku nyusahin kamu,” ucap Elfara dengan suara yang begitu bergetar. Wajah cantiknya tertunduk sempurna, menyembunyikan linangan air matanya sendiri.

Gesa tangkup wajah Elfara dengan kedua tangannya. Sekali lagi, Gesa pandang wajah itu. Namun, keindahan wajah Elfara tak mampu menyebuhkan luka hati Gesa.

“Siapa yang bilang kamu nyusahin?” tanya Gesa.

Elfara menggelengkan kepalanya samar. “Karena ... semakin hari, aku semakin sakit. Sekarang, untuk jalan aja, aku harus duduk di kursi seperti ini,” paraunya.

Gesa tak buta. Gesa tahu, kesembuhan bukan hal yang bisa dia harapkan dari Elfara. Gesa juga sadar, cinta dan cita-cita bukan hal yang bisa dia tuntut dari Elfara. Namun sekali lagi, jika Gesa tidak bisa berjuang layaknya seorang Rama untuk Sinta, izinkan dia menjadi Gesa yang berjuang untuk Elfara. Dia usap wajah Elfara. Jemarinya terus menyusuri setiap lekuk indah dari wajah itu.

“Gak ada yang bilang kamu nyusahin. Aku suami kamu. Udah kewajiban aku untuk jaga kamu, untuk rawat kamu sampai sembuh.”

“Kamu gak akan pergi?” tanya Elfara.

“Pergi ke mana?” tanya Gesa.

“Kamu sering ninggalin aku. Aku gak suka sendirian.”

Gesa tersenyum kecil. Dia usap surai indah Elfara. Surai cokelat itu sedikit berantakan. Bahkan, sebagain wajah Elfara terhalang karena beberapa helai rambutnya sendiri. Gesa selipkan helaian rambut itu ke belakang telinga pemiliknya. Sekarang, Gesa bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah cantik Elfara masih menyiratkan kesedihan yang mendalam.

“Aku pergi untuk kamu ... untuk kita ...,” tutur Gesa.

Tak ada secerca harapan pun yang Gesa lihat dari tatapan Elfara. Matanya menerawang jauh tanpa tujuan. Perempuan itu tersenyum tanpa keindahan jiwa. “Aku kira ... kamu pergi karena aku sakit. Aku kira ... kamu ninggalin aku karena aku gak bisa sembuh,” bisiknya begitu sendu.

Gesa menangis dalam sunyi. Dia menggelengkan kepalanya. “Enggak ... aku gak akan pergi. Aku gak akan ninggalin kamu,” ucapnya Gesa bawa tubuh Elfara dalam pelukannya. Dia dekap tubuh rapuh itu dengan begitu erat. “Aku gak akan pergi.”

Perlahan, Elfara melepas dekapan hangat dari Gesa. Dia tatap wajah Gesa. “Janji?” tanyanya sambil mengangkat jari kelingkingnya.

Gesa pautkan kedua jari kelingking mereka berdua. “Janji,” ucapnya.

Senyuman keduanya saling bersua dalam kesunyian. Gesa yakin, suatu saat nanti, hati terluka itu akan dipulihkan oleh waktu.

“Sekarang, kita mau ke mana?” tanya Gesa.

“Aku mau ke sana.” Elfara menunjuk sebuah pohon kersen yang menjulang tinggi, pohon rindang di tengah taman rumah sakit. Gesa ikut memandang pohon besar itu. Dia mengangguk sekilas sebelum kembali mendorong kursi roda Elfara.

Dengan penuh kehati-hatian, Gesa dorong kursi roda Elfara. Satu demi satu langkah dia ambil bersama dengan bergulirnya roda dari kursi yang Elfara duduki. Memang keinginan hati Elfara untuk jalan-jalan di luar, meski sekedar berkeliling di taman rumah sakit. Katanya, Elfara ingin sedikit melupakan fakta bahwa dia tengah sakit dan terluka.

Sekarang, di sanalah Gesa dan Elfara duduk. Mereka berdua duduk berdampingan di sebuah bangku panjang yang dipayungi langsung oleh rindangnya dedaunan dari pohon kersen. Beberapa kali, semilir angin mencumbu wajah keduanya. Elfara terus menjatuhkan tubuhnya pada pelukan Gesa. Tak jauh berbeda, Gesa juga membawa Elfara dalam rangkulannya.

“Baju ini jelek,” ucap Elfara tiba-tiba. Dia mengeluhkan baju pasien yang tengah dia pakai. “Warnanya aneh ... modelnya juga jelek dan terlalu besar,” tuturnya lagi.

Sekarang, Elfara memang jauh lebih kekanak-kanankan. Tak hanya baju yang dia keluhkan, rasa pahit dari obat yang dia minum pun tak luput menjadi keluhannya. Gesa hanya bisa terkekeh kecil. Dia memilih untuk mengeratkan pelukannya dan sesekali mengecup pucuk kepala istrinya itu.

“Kalau kamu yang pake, sejelek apapun bajunya pasti jadi cantik,” ucap Gesa. Pria itu tersenyum bersamaan dengan kedua matanya yang ikut melengkung tersenyum.

Elfara menolehkam kepala. Dia pandang senyuman indah itu sekilas. Dia curi kecupan singkat dari bibir Gesa. Dia kecup dan dia lumat bibir Gesa sekilas, sebelum akhirnya Elfara sendiri yang mengakhiri ciuman itu.

Gesa tertegun karena ciuman Elfara. Harusnya, bukan wajah Yasa yang Gesa lihat. Harusnya, bukan hangatnya bibir Yasa yang Gesa bayangkan. Entah siapa yang Gesa khianati, tapi hatinya merasa ada yang salah. Samar-samar, Gesa menggelengkan kepalanya. 

Harusnya, tidak seperti ini Gesa, batinnya bergumam.

“Sayang ... aku minta sesuatu, boleh gak?”

Pertanyan Elfara mengembalikan pikiran Gesa yang berkelana sesaat. Pria itu mengerjapkan matanya beberapa kali, berharap bayangan wajah Yasa bisa hilang dalam benaknya. Dia pandangi wajah Elfara yang kini masih setia dalam pelukannya. Perlahan, pesona wajah Yasa memudar dan digantikan oleh indahnya paras Elfara.

“Aku minta sesuatu, boleh gak?” Elfara kembali bertanya.

“Kamu mau minta apa?” tanya Gesa.

“Kalau nanti, aku udah gak cantik lagi ... aku udah gak bisa membahagiakan kamu lagi ... Tolong, jangan cari kebahagiaan dari orang lain." Elfara menenggelamkan wajahnya dalam kokohnya dada Gesa. “Tolong ... jangan jatuh cinta pada orang lain,” bisiknya.

Gesa makin tertegun. Hatinya makin terusik. Setiap kata yang keluar dari bibir Elfara rasanya benar-benar menusuk hati Gesa. Namun, pikiran Gesa lebih dulu terganggu oleh nama Yasa. Entah seperti apa kabar Yasa saat ini. Entah bagaimana keadaan Yasa sekarang. Padahal hari sudah berganti, tapi Diaz tak kunjung menghubungi Gesa lagi. Dokter muda itu tak kunjung memberi kabar pada Gesa. Jangan kabar tentang Yasa, kabar burung sekalipun tak Gesa dapatkan.

Di saat yang sama, seakan menjawab kebingungan Gesa, tiba-tiba ponselnya bergetar. Gesa ambil ponsel dari dalam sakunya. Sesuai dengan harapan Gesa, di sana kontak Diaz yang tengah menelponnya. Gesa langsung melirik Elfara sekilas. Perempuan itu ternyata tertidur dalam pelukan Gesa, meski pelukannya tak terlepas di sana.

Setelah memastikan Elfara benar-benar terlelap dalam mimpinya, diam-diam, Gesa angkat telpon dari Diaz.

“Halo, kenapa lo baru—”

Tolol!” Diaz menyela ucapan Gesa dengan cepat. Pria itu mengumpat dengan nada bicara yang bersungut-sungut. “Udah gua peringatkan dari awal! Tahan diri lo, Gesa! Lo apain anak orang! Ke sini gak lo sekarang!” Diaz berteriak dari sebrang telpon itu. 

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

HARGA RAHIM YASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang