"Setelah dihancurkan sekali pun, kita tetap mendambakan keeogisan itu."
_____________________________________YASA ingin menjadi tuli jika bisa. Pendengarannya terasa pengang karena frasa demi frasa yang kian bercampur bisa. Entah harus dengan cara apa Yasa menyembunyikan rasa. Rasa sakit akan cemooh dari setiap daksa.
"Apa dia tidak malu datang dengan perut besar seperti itu?"
"Wajahnya terlalu tebal untuk sekedar menyadari betapa hinanya dia."
"Bisa-bisanya Pak Gesa membawa istri keduanya ke sini."
"Ironis! Istri pertamanya di rumah sakit jiwa, dia malah menikah lagi."
"Hanya wanita murahan yang rela menjadi kedua."
Caci maki itu terus mengalun merdu bagaikan lagu pengantar kematian. Sorak sorai orang-orang tak ayal bersenandung bagaikan kidung cinta akan celaan. Setiap pasang netra mereka masih memandang lekat bagaikan ujung belati berhias kutukan demi kutukan.
Yasa tak bisa berlindung untuk sekedar membela. Semuanya benar adanya. Yasa adalah wanita hamil yang Gesa bawa, Yasa adalah wanita yang sudah tak tahu di mana letak rasa malunya, dan Yasa adalah wanita yang tak memiliki harga diri. Maka, silakan lihat Yasa. Lihatlah bagaimana wanita murahan ini bersua, menyaksikan segala kepedihan Elfara.
Hari ini, Yasa sengaja datang ke rumah sakit untuk memenuhi janjinya pada Elfara. Janji untuk menghadiri acara amal di rumah sakit Dharmawiguna. Bukannya menjadi penonton, Yasa seakan menjadi tontonan. Entah karena Yasa datang bersama Gesa, atau mungkin karena perut besar Yasa yang telihat begitu hina.
Padahal tak ada sedikit pun niat Yasa untuk menghancurkan acara itu dengan menjadi pendosa, tapi tak sedikit perkataan buruk yang Yasa terima.
Sekarang, perempuan hamil tua itu hanya bisa duduk sendirian di tengah banyaknya figur asing dan menunggu jam yang melingkar di lengannya kembali berdenting. Acara itu sudah ditutup oleh permainan piano Elfara yang bagi Yasa terasa asing. Orang-orang juga mulai kembali pada dunia masing-masing. Namun, di sana Yasa masih duduk bergeming.
"Tunggu di sini sebentar."
Satu kalimat itu yang Gesa titipkan pada Yasa. Sudah sejak tadi, pria itu meninggalkan Yasa. Entah ke mana Gesa pergi, tapi Yasa melihat dengan jelas Gesa pergi bersama Elfara.
Lelah menunggu, Yasa menghela napasnya begitu bosan. Dia tatap sekali lagi jam tangan itu. Angka di dalamnya sudah berganti lagi, tapi Gesa belum kembali. Ruangan yang kini Yasa pijaki sudah hampir kosong. Hanya beberapa orang yang masih tetap tinggal. Yasa ambil ponselnya. Dia ketikan sebuah pesan untuk Gesa.
Kalau masih lama, aku pulang duluan naik taksi.
Belum sempat pesan itu Yasa kirim, dia lebih dikejutkan oleh kedatangan pertugas kebersihan yang memberi tahu kalau ruangan itu akan dirapikan.
Yasa lantas mengedarkan pandangannya, menatap setiap sudut ruangan yang mulai dibersihkan oleh beberapa petugas. Ruangan yang tadinya penuh oleh orang-orang itu kini benar-benar sepi. Yasa memutuskan untuk beranjak. Dia keluar ruangan dan sedikit mencari udara segar di taman rumah sakit sambil menunggu Gesa.
Perempeuan dengan perut besarnya itu tersenyum saat melihat figur Gesa dari kejuahan. Namun, baru saja kakinya akan melangkah, dia kembari tertegun. Ternyata, Gesa tak sendirian. Di sana, juga ada Elfara. Dua orang itu duduk dengan tangan yang saling menggenggam. Entah sejak kapan hati Yasa mulai bergemuruh. Tangannya mengepal dengan debar jantung yang tak karuan.
Yasa tahu, dia bukanlah satu-satunya. Namun, saat melihat langsung seperti ini, kenapa terasa jauh lebih sakit. Seakan terkena sayatan, hatinya benar-benar terasa begitu perih.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARGA RAHIM YASA
RomanceKarena utang dan himpitan ekonomi yang terus mencekik keluarganya, Yasa rela menjual rahimnya pada sepasang suami-istri. Semuanya berawal dari Elfara yang sakit dan divonis tidak dapat mengandung. Akhirnya, Gesa memutuskan untuk membeli rahim Yasa d...