4. Long Story

181 34 1
                                    

Taufan Pov
.

.

Gelap.

Dingin.

Bebas.

Beginikah rasa kematian?

Aku mengedipkan mataku dua kali. Sekonyol itu akhir hidupku? Mati di tangan seorang lelaki berambut ungu? Hanya karena pedang?

Ada akhir hidup yang lebih keren gak, sih?

Tanpa sadar aku menatap lamat telapak tangan yang sering kugunakan untuk menepuk bahu temanku. Kupikir rasa kematian akan sangat menyakitkan. Tapi yang kurasakan ini biasa saja.

Sungguh tiada niat bagiku untuk mengelilingi dimensi hitam ini.

Aku sering baca novel yang dibeli Halilintar. Katanya dimensi gelap ini tidak akan ada ujungnya.

Kalau benar begitu, aku boleh duduk diam di sini menunggu malaikat pencabut nyawa mengirimku ke pengadilan dunia, bukan?

"Jangan kau menyentuhnya!" Suara entah dari mana itu mengagetkanku yang barusan ingin duduk lesehan.

Gemercik cahaya putih mengelilingiku lalu menyatu membentuk papan putih. Bagiku itu adalah sebuah televisi dunia lain.

Apa ini? Apakah ada siaran ulang bagaimana aku mati?

"Aku tidak peduli! Berikan Taufan padaku!" jerit suara arogan milik seorang pria.

"Tidak akan pernah, Beliung! Kau gila!" balas suara wanita.

Keningku berkerut, kenapa namaku dipanggil? Apakah aku diperebutkan?

Televisi dunia lain itu bersinar, lebih menarik perhatianku dibanding suara teriakan yang mulai samar.

Siluet seorang pria dan wanita terlihat memperebutkan seorang bayi. Aku hanya mendatarkan muka, kukira itu hanya siaran drama rumah tangga yang memperebutkan hak asuh anak.

Dor!

Pria itu menembak wanita yang tengah menggendong bayi tersebut. Membuatku terperangah sejenak.

Wah! Sadis!

"Kau berani memancarkan muka bahagia melihat kematian ibumu?"

Hitamnya dimensi lantas berubah menjadi hijau. "Apa maksudmu?!" Aku sontak membalas suara yang kedengarannya sama sepertiku.

Seorang remaja lelaki berjalan santai ke arahku. Meski begitu raut mukanya terlihat muram. Ah, itu tidak penting! Aku kaget!

Kenapa wajahnya sama denganku?!

"Siapa kau?" Terdengar seperti orang bodoh, itulah aku saat ini.
 
Orang yang mirip denganku itu menampar diriku pelan. "Aku adalah dirimu di dunia lain, bodoh! Pake nanya lagi."

"Dunia lain? Berarti kau sudah mati juga?" Aku memiringkan kepalaku heran. Di novel banyak adegan tokoh utama bertemu dirinya di dunia lain.

Ternyata hal yang seperti itu nyata, ya....

Sosok itu mengangguk pasrah. Ia beralih memegang bahuku.

"Dengar, Taufan! Aku gak peduli apapun, tolong bangun sekarang juga! Hentikan si gledek merah itu!" Dia menunjuk televisi putih tadi yang kini menampilkan situasi para teman seperjuanganku saat ini.

Haliintar terlihat akan mengoperasi diriku dengan pisau besar yang biasa digunakan untuk memotong hewan. Lalu dihentikan oleh Gempa, Ice dan Solar yang panik.

Aku mengaliihkan pandanganku dari sana. Taufan yang imut ini masih ingin hidup, guys. Kalau diberi kesempatan aku gak nolak, kok! Tapi....

"Memangnya aku masih bisa bangun?" Aku bertanya lirih.

The TimeTravel [✔]Where stories live. Discover now