🍁Selesai🍁

18 1 0
                                    

Selepas Subuh, Jihan langsung bergegas membereskan apa yang perlu dibereskan. Menjadi pola aktivitasnya yang baru. Mengisi air hangat di bath up untuk Pandu, memilihkan pakaian kerja terbaiknya, merapikan kamar, menyapu, mencuci dan berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan mereka. Walau hanya beberapa roti selai dan susu yang bisa ia buat. Jihan sudah bertekad untuk harus belajar memasak. Karena malu sekali dirinya sebagai istri yang tidak bisa memasak.

Sepasang tangan melingkar di perutnya. Kecupan mesra di pipinya mengejutkan Jihan yang tengah serius mengolesi selai cokelat di rotinya.

"Pandu! Kamu ngagetin aku banget."

"Kok Pandu lagi sih!!" Dengusnya.

"Iya, mas Panduku...." Menjawab malas.

Pandu tersenyum simpul. Ia memutar tubuh Jihan agar menghadap dirinya. Ia melirik penampilan biasa Jihan. Tak berpoles, masih memakai pakaian tidurnya dan sepertinya belum mandi juga.

"Kamu gak ke kantor?"

Gelengan santai Jihan menjawab pertanyaan Pandu.

"Kenapa? Tumben banget."

"Aku udah resign. Palingan, hari ini aku ke kantor sebentar hanya untuk memproses pemutusan kontrak kerjaku."

"Apakah ini udah keputusan terbaik kamu? Yang mas tahu, kamu sangat menyukai pekerjaan ini. Bisa dibilang, itu passion kamu."

Jihan menceritakan semua kronologi kenapa keputusan nekat ini ia ambil. Pandu yang mendengarnya lumayan kesal dan tidak habis pikir dunia persaingan dalam lingkungan pekerjaan Jihan terlalu kejam.

Sepanjang cerita terlihat sekali paras Jihan yang lesu namun Pandu pahami Jihan pasti menyembunyikan perasaannya saat ini. Tangan ia pun membelai lembut pipi Jihan memberi kenyamanan dan ketenangan.

"Gak apa-apa Sayang. Keputusan kamu memang yang terbaik. Menjauh dan menjaga jarak dari orang-orang yang membenci kita itu tidak ada salahnya. Allah sedang menguji kamu. Dan pasti semua kejadian ini ada hikmahnya."

"Kamu gak marah kan, aku memilih menjadi Ibu Rumah Tangga saja di rumah? Aku juga bakal selingi waktu untuk cari-cari info lowongan pekerjaan."

Pandu sedikit menundukkan kepalanya agar pandangan mereka lebih intens.

"Itu keinginan mas Sayang. Mempunyai istri yang lebih sibuk di rumah dan selalu menunggu mas saat pulang kerja. Biarkan mas saja yang bekerja. Karena sudah kewajiban mas sebagai seorang suami yang mencari nafkah untuk istri dan anak-anak kita nanti."

Mendengar kata anak, hati Jihan tergelitik.

'Bagaimana ya, kondisiku nanti kalau sudah hamil besar. Pasti lucu banget. Pandu sepertinya sudah sangat menginginkan seorang anak. Aku juga Pandu. Tapi, aku malu untuk memulainya.'

Gelengan-gelengan kecil mencoba menghilangkan pikiran liarnya.

Wajah bersemu Jihan kembali terlihat yang memancing rasa gemas pada Pandu. Alhasil, bibir Pandu meraup rakus bibir manis Jihan. Jihan kewalahan menerima serangan tiba-tiba dari Pandu. Dorongan kuat ia lakukan karena ia susah mengatur napasnya.

"Kenapa Sayang?"
"Kamu ngebuat aku sesak. Mesum banget sih."

Pandu tersenyum dan menarik paksa pinggang Jihan menyebabkan tidak ada jarak diantara mereka.

"Mas harus mulai belajar lebih liar dan lebih mendominasi dari kamu istriku. Sampai kapan lagi mas harus nunggu kamu memberikan hak mas sebagai suami. Mas sangat menginginkan rumah kecil kita ini ramai dengan tangisan dan tertawaan anak-anak."

CUP....!

Kecupan di pipi Jihan menyadarkan tampang cengonya. Pandu telah berlalu sembari membawa roti selai cokelat dan susu buatan Jihan.

Takdir TerciptaWhere stories live. Discover now