Bab 3

36 31 75
                                    

Selamat Membaca...

***
"Manusia hidup sesuai porsinya masing-masing. Hidup yang terlihat mewah belum tentu indah."
***

Pelangi dan kedua sahabatnya duduk di kursi kantin. Suasana kantin saat ini sangat ramai bahkan lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena mata pelajaran ujian terakhir nanti adalah matematika jadi para siswa sibuk mengisi perutnya supaya bisa konsentrasi saat mengerjakan soal yang pastinya rumit dan menjengkelkan.

"Pulang sekolah ke rumah gue aja gimana? Kita ngerjain tugas desain dari Bu Maurin bareng. Kalian tau kan kalau tangan gue ini nggak bisa nge-desain. Jadi biar kalian bantuin tugas gue gitu." Ucap Abel seraya membolak-balikkan tangannya yang mulus.

"Setuju aja sih. Tapi jangan lupa jawaban matematikanya nanti." Balas Hellen. Di antara mereka bertiga memang hanya Abel yang jago matematika.

"Okee nanti gue bagi jawaban. Kalau lo gimana, Nggi? Setuju pulang ke rumah gue?" Ucap Abel sambil membenarkan tali sepatunya yang mulai copot.

Pelangi tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan Abel. Dirinya diam dan terlihat seperti memikirkan sesuatu. Apakah Pelangi memikirkan Alkana? Oh tidak sepertinya bukan itu.

"Hello... Anggi...!!!" Ucap Abel sambil melambaikan kedua tangannya di hadapan Pelangi.

Pelangi terkejut dengan suara toa milik Abel. Sungguh suara itu membuat beberapa orang yang berada di kantin menoleh ke arah mereka bertiga.

"Are you okay??" Tanya Hellen kepada Pelangi.

"Gue nggak papa kok. Cuma lagi mikir aja." Ucap Pelangi dengan nada lirih.

"Mikir apaan? Lo lagi ada masalah? Atau lo lagi mikirin cowok-cowok TPK tadi ya." Goda Hellen sambil menoleh ke kanan dan ke kiri melihat cowok-cowok di area kantin.

"Enggak, Hell. Biasanya kalau kita dapet tugas desain otomatis nanti endingnya kita disuruh beli kain daaan yang gue pikirin sekarang itu...." Pelangi tidak melanjutkan ucapannya.

"Apa??" Sahut Hellen dan Abel.

"Gue lagi nggak ada uang sama sekali. Gajian bulan ini rencananya mau gue pake buat bayar cicilan motor." Pelangi melanjutkan ucapannya.

Pelangi memang sudah bekerja. Jika berbicara tentang kerja, dirinya sudah tidak asing dengan hal itu. Bekerja sebagai penjaga warteg, pegawai laundry, hingga penjual donat keliling pun sudah pernah dia lakukan. Dua bulan yang lalu Bu Wuri (pemilik laundry) menyuruhnya kembali bekerja di tempatnya karena ada dua karyawan yang resign mendadak. Berhadapan dengan setrika selama berjam-jam membuat tangan Pelangi melepuh kepanasan. Dirinya rela melakukan itu demi membantu ibunya yang terlilit hutang.

Terkadang Pelangi merasa iri dengan jalan hidup kedua sahabatnya. Hellen dan Abel yang berasal dari keluarga kaya raya sudah pasti selalu mendapatkan apa saja yang mereka mau. Namun Pelangi sadar bahwa manusia hidup sesuai porsinya masing-masing. Tidak ada yang lebih berat, tidak ada yang lebih ringan. Menurutnya, hidup yang terlihat mewah belum tentu indah.

"Nggak perlu dipikirin. Pake uang gue dulu kan bisa, Nggi." Ucap Abel seraya tersenyum kepada Pelangi.

"Nah betul itu." Sahut Hellen sambil memakan bakso yang baru saja dihidangkan Mbak Surti.

"Sekarang makan baksonya aja, jangan lupa nanti ujian matematika jadi perut wajib di isi. Okeiyy?" Ucap Abel dengan senyum lebarnya.

Mereka bertiga menghabiskan bakso itu sampai tersisa mangkok, garpu dan sendok saja. Bakso di kedai Mbak Surti memang enak dan harganya yang terjangkau membuat beberapa siswa yang sedang bokek bisa kenyang seketika. Bagaimana tidak? Hanya dengan uang tujuh ribu saja kita sudah mendapatkan satu mangkok berisi satu pentol besar dan lima pentol kecil belum lagi pangsit gorengnya yang renyah.

MENYULAM MIMPI PELANGI (Tahap Revisi Sebelum Terbit)Where stories live. Discover now