Menuai Derita 🥀

4.4K 232 73
                                    

Di dalam remang-remang ruangan, Tasya duduk melihat jendela. Sendunya langit dikelilingi awan hitam, tangisan langit membasahi bumi.

Seminggu sudah kepergian anak bungsunya, menarik hidup Tasya tanpa warna. Tasya bagaikan raga tanpa nyawa, hari-hari yang ia jalani, tak ada yang berarti. Mengunci diri di kamar, menatap kosong keluar sambil memeluk boneka kelinci anak bungsunya.

Ceklek

Pintu kamar di buka Rian, membawa nampan yang berisikan makanan. Menarik kursi menghadap Tasya. “Sayang, kamu makan dulu, ya?”

Rian mengarahkan sesendok nasi ke mulut Tasya, namun Tasya tetap tidak membuka mulutnya, membuat Rian menghela napas lelah. “Coba buka mulutnya, ini makanan kesukaan kamu, loh,” bujuknya, mengarahkan sesendok nasi kembali.

PRANG

Satu piring nasi yang Rian pegang jatuh berserakan ditepis Tasya, dengan sabar Rian memungutinya. Tiba-tiba Tasya berjalan di tengah serpihan piring yang berserakan.

“Tasya Stop!” Rian menggendong Tasya yang kakinya sudah berdarah, mendudukkannya di atas kasur, lalu mengambil kotak P3K mengobati Tasya. 

Dengan hati-hati Rian mencabut serpihan kaca kecil di kaki Tasya. Tasya tetap diam, tidak merespon kesakitan, tenang memandangi hujan malam. 

Pergerakan Rian terhenti saat empat kata menghancurkan hati yang ia jaga untuk Tasya. “Mas … kita cerai, ya?”

Rian langsung memandang Tasya tak percaya. “Kamu ngomong apa, sih?!”

Tasya tersenyum penuh luka. “Dari awal hubungan kita tidaklah baik untuk dijalani. Kita menikah tanpa restu orang tua, membuat permasalahan rumah tangga kita datang silih berganti, hingga kesalahpahaman mengorbankan anak yang seharusnya kita sayang.”

Rian berdiri memegang kedua bahu Tasya. “Hubungan kita dilandasi dengan cinta, mana mungkin pernikahan kita salah!”

“Memang kita saling mencintai, tapi kita lupa kepercayaan dan kepedulian yang melandasi rumah tangga. Kamu tidak percaya kepada cintaku, menuduhku bersama lelaki lain tanpa mau mendengarkan alasanku. Sementara aku tidak peduli kepada anak bungsuku sendiri, karena menganggap kehadirannya adalah penghancur rumah tangga kita.  Selama ini kita hidup dalam keegoisan.”

“Terus sekarang mau mengorbankan kebahagiaan Bian juga, dengan perceraain yang kau inginkan?” pertanyaan Rian membungkam Tasya.

Rian bersimpuh memegang kedua tangan Tasya. “Pikirkan Bian, Sya. Dia masih kecil.”

Tasya menyentak tangan Rian, keputusannya sudah bulat. “Aku nggak bisa Mas. Aku nggak sanggup menjalani pernikahan ini. Aku mohon ceraikan aku!”

“Cukup Rain yang pergi, jangan ada yang lagi!” Rian melangkah pergi keluar, membiarkan Tasya menjerit minta diceraikan.

Malam semakin larut, Rian berjalan menuju kamar. Semenjak Rian meninggalkan Tasya, entah kenapa hatinya tak tenang, dengan perasaan gelisah Rian ke dalam kamar  yang gelap ia lahat.

Hujan bertambah lebat, gemuruh petir bersahutan, di saat tangannya merasakan saklar lampu, kilatan  petir bersahutan, menyinari ruangan.

Bruk

Rian jatuh terduduk, air matanya jatuh tanpa aba-aba. Di hadapannya, Tasya gantung diri diambang pintu balkon.

“TASYA!”

Rian berusaha berdiri, berlari memegang tubuh Tasya yang menggantung di atas, meraih kursi yang jatuh di bawah, berdiri diatasnya melepaskan ikatan. Rian menangis melepaskan ikatan tali di leher Tasya, tidak menyangka Tasya melakukan ini. 

Teduh Untuk Rain [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang