Bab 19 : Mood swing

36 6 0
                                    

Suasana dingin setelah hujan membawa ketenangan bagi mereka yang mencarinya. Mungkin seharusnya begitu. Sayangnya tidak dengan ku. Sudah 5 menit berlalu, aku masih saja tidak bisa tenang menanti kedua orang tua ku tiba di rumah. Sangat berbeda dengan Wira yang memilih menikmati suasana.

Ingatan ku kala itu datang ke sini membuat Wira sampai lebam. Aku khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan lagi padanya. Tapi sepertinya hal itu tidak ada dalam pikirannya saat ini. Dirinya lebih sibuk memikirkan nasib penelitiannya yang sempat terbengkalai beberapa waktu lalu.

Drrt

Bunyi notifikasi getar pertanda pesan masuk membuatku menghela nafas panjang. Pria itu rupanya telah melakukan survei makanan apa saja yang harus sering ku konsumsi, batasi dan hentikan selama mengandung.

"Kenapa saya tidak boleh makan nanas?"tanyaku heran.

Meskipun bentuknya yang cukup unik dan perlu dibersihkan secara khusus, nanas cukup menggoda iman. Terlebih aku tergolong manusia pecinta sejenis asinan sampai rujak. Pria itu tampak menghela nafasnya panjang.

"Setelah ini, perbanyaklah belajar mengenai kehamilan. Saya tidak mau menghabiskan kesabaran untuk menjelaskan,"ucap Wira membuatku tersenyum kecil.

"Mas sedang berusaha sabar, ya,"ucapku menatapnya lekat.

"Kalian sudah lama menunggu?".

Sontak pertanyaan itu membuatku mendongak melirik Ibu bersama Bapak baru saja tiba. Salah kami juga bertamu tidak mengabari keluarga terlebih dahulu. Wira segera beranjak membantu batang bawaan Bapak. Sementara diriku tentu saja langsung bergelayut manja di lengan Ibu ku tercinta.

"Kamu ini sudah besar masih suka manja sama Ibu. Coba manja sama Mas Wira gitu, loh,"ucap Ibu.

"Bukannya nggak mau, Bu. Tapi Mas Wira seperti gunung api. Yang ada aku terkena lahar dingin atau erupsinya kalau mencoba bergelayut seperti ini,"batin ku sembari tersenyum geli.

"Tidak biasanya, kalian bertamu malam-malam. Apa ada masalah?"tanya Ibu membuka salad yang baru saja dibeli.

Tampak warna kekuningan yang begitu mencolok begitu membuatku tergiur. Namun Wira sudah sangat mewanti menghindari beberapa jenis makanan membuatku memilih mengalihkan pandangan.

"Sebelumnya saya mau minta maaf. Hal ini terkait kondisi, Dek Aluna,"ucap Wira membuat Bapak menatapnya tajam.

Apakah boleh aku memeluknya sebelum Bapak memukul pria di sebelah ku? Apalagi melihat otot Bapak mulai mencuat pertanda ketegangan yang begitu serius.

"Aluna hamil 17 minggu, Pak,"ucap Wira begitu saja.

"Loh? Terus masalahnya dimana? Alhamdulillah, berarti kalian segera mendapat keturunan,"ucap Ibu segera menjauhkan salad berisi nanas dari depan ku.

"Kehamilan Aluna tergolong rentan, Bu. Tapi tidak masalah, janin yang dia kandung juga merupakan berkah. Seharusnya kalian berbahagia, bukannya tampak bermasalah begini,"ucap Bapak.

"Kamu sudah mau punya anak, tingkahnya dijaga. Jangan suka pecicilan. Mas Wira, kalau dia susah dibilangi suruh menginap di rumah Ibu,"ucap Ibu sangar.

"Bapak kira kenapa, Mas. Kalian sudah makan?"tanya Bapak membuatku mengangguk cepat.

Sekalipun usia Wira dan Bapak tidak cukup jauh, baginya Wira adalah menantunya. Suami dari putrinya yang tercinta. Makanya perlakuannya pada Wira sama seperti perlakuan nya pada ku. Akhirnya aku bisa sedikit menghirup udara lega. Tidak ada lagi hiruk pikuk yang terjadi seperti saat itu.

"Nilam, Mas Wira kenapa pucat begitu?"tanya Ibu sementara para laki-laki masih bertahan di ruang keluarga.

"Pucat? Emang iya, Bu,"ucapku merasa tidak melihatnya.

Saujana Sandyakala ~ CompletedWhere stories live. Discover now