Bab 28 : Perempuan misterius

14 3 0
                                    

Dinginnya udara sejuk pagi ini cukup membuat persedian ku terasa ngilu. Dengan segala jenis nasihat dan pitutur akhirnya aku bisa kembali ke kampus. Awalnya aku berpikir akan kembali ke kampus setelah beberapa hari. Namun melihat jadwal ujian akhir semakin dekat sementara mata kuliah ku belum usai cukup menyita perhatian.

Rasanya tidak adil jika memilih cuti mengabaikan mahasiswa ku. Tentunya tanpa terlepas begitu saja dengan Pram yang akan mengantar jemput bersamaan dirinya berangkat dan pulang kerja. Telinga ku hanya harus sabar mendengar setiap kalimat nasihat darinya sepanjang jalan menuju kampus.

Sekarang aku menyadari betapa jauhnya jalan ke rumah bersama Pram. Biasanya hanya terasa seolah baru saja menaiki motor sudah tiba. Semua nasihat itu tidaklah salah dan sebuah bentuk perhatian. Hanya saja telinga ku bahkan sudah mulai pengar mendengarnya.

"Berhentilah, Pram. Kamu sudah banyak mengulang kata,"ucapku menghela nafas jengah mencoba menekan dashboard.

"Setidaknya aku hanya mengingatkan, Mas. Kenapa kamu memilih kampus yang begitu jauh?"keluh Pram.

"Kampusnya tidak jauh. Karena kamu terus berbicara membuatnya menjadi sangat jauh,"ucapku.

Entah sampai kapan debat kusir ini akan berakhir. Sejujurnya mulutku mulai berbusa menunggu perdebatan usai. Siapa yang sudah mengajarinya menjadi begitu cerewet seperti sekarang? Bahkan Rani saja terlihat pendiam dan tidak banyak berbicara. Bunda pun mengakui hal itu.

🎶Tak segampang itu, ku mencari penggantimu🎶

Lantunan musisi nasional menguar mengisi suasana sunyi diantara kami. Lagu ini persis seperti yang diriku alami. Entah berapa kali aku harus mencoba untuk berpikir jernih menghadapi masalah yang terus ada di masa mendatang. Ingatan ku masih utuh tanpa cacat sejak kecelakaan terjadi. Mungkin aku juga perlu bersyukur akan hal itu.

"Dibandingkan sering makan hati, kenapa tidak memilih mahasiswimu saja, Mas?"tanya Pram membuatku memutar bola mata malas.

"Aku tidak akan sesabar itu dalam menangani manusia yang baru beranjak dewasa, Pram. Menangani Arini saja cukup rumit,"ucapku.

"Hei. Dewasa bukanlah dilihat dari usia dan saat kamu menemukan pasangan yang membuatmu nyaman tanpa harus khawatir dia tidak suka, itulah jodoh. Mungkin aku lebih muda, Mas. Tetapi hidupku lebih berwarna dibandingkan hidupmu. Ada orang yang akan menerima apapun dirimu, nah disitulah tempat terbaik menghabiskan waktu seumur hidup,"ucap Pram.

Akh, sial.

Semakin aku mendengar semua nasihatnya membuatku seolah goyah. Logika ku berkata apa yang dirinya katakan memang benar. Seumur hidup adalah waktu yang lama untuk tinggal. Ketika memilih seseorang yang membuatku harus terus sempurna dalam setiap kondisi terdengar cukup melelahkan. Terutama dalam hal emosi.

Menurut ku mengatur emosi juga bukanlah hal yang salah. Emosi yang berlebihan menyebabkan kepala tidak bisa berpikir jernih. Sejenak kepala ku terasa cukup penat untuk berpikir membuat rasa nyeri luar biasa.

"Aduhh,"keluh ku memejamkan mata erat.

Sekelebat bayangan terlihat seorang perempuan dengan jilbab lebarnya memelukku seraya menangis. Otot yang mengeras dari leher sudah cukup menandakan diriku tengah marah.

"Apa ku bilang? Lebih baik cuti saja dulu,"ucap Pram menepikan kendaraan.

"Tidak. Sakit kepala itu hanya datang sesekali saat mulai jenuh. Berada di rumah hanya akan menambah rasa jenuh,"ucapku.

Entah siapa perempuan itu dan mengapa dirinya terus bermunculan? Bahkan sampai memelukku dengan air mata meleleh. Secara sadar, aku tidak pernah merasa dipeluk seorang perempuan secara sadar kecuali Bunda. Arini pun tidak pernah berani memelukku. Apalagi diriku dalam kondisi mengamuk.

Saujana Sandyakala ~ CompletedWhere stories live. Discover now