Bab 17 : Pernyataan

35 5 0
                                    

Semilir angin silih berganti membuatku menghela nafas lega. Rumah yang telah ku tinggalkan beberapa hari lalu kembali berada di depan mata. Wira menarik tangan ku pelan mengajak masuk. Sementara semua barang ku telah dirinya bawa saat berangkat ke kampus tadi pagi.

"Jangan pergi bermain terlalu jauh lagi anak kecil,"ucap Wira membuatku tersenyum kecil.

Kenapa sulit sekali pria ini mengatakan dirinya merindukan ku? Kenapa tidak langsung berbicara satu sama lain saja? Potret foto pernikahan yang menyapa di ruang tamu membuatku tersenyum lebar. Sementara pria itu menaruh kembali kue kering di meja ruang tamu, mata ku menelisik vas bunga yang terlihat berbeda.

"Saya pikir ada yang berubah dari ruang tamu Anda, Pak,"ucapku.

"Setelah semalaman berteriak mendayu kamu masih memanggil saya, Pak?"tanya Wira membuatku merona.

Aku jadi ingat lagi kekesalan ku seharian ini. Pria tua di depan mata ku ini sudah menyusahkan seharian dengan banyaknya pertanyaan yang bermunculan. Sebenarnya tidak ada yang salah jika terjadi antara suami istri. Hanya saja pertanyaan itu timbul dari mereka yang belum menyentuh mimbar pernikahan.

"Menolak tua,"cibir ku masih terasa kesal.

"Sudah tau tua masih di nikahi. Siapa yang menyuruhmu menggoda saya semalam?"tanya Wira membuatku menggeleng cepat.

"Cukup, Mas. Saya sudah terlalu malu seharian ini seringkali dipertanyakan orang yang lewat. Saya masih bisa berbohong pada teman-teman dengan mengatakan keseleo. Tapi saya sudah tidak bisa bergeming lagi saat Ibu yang bertanya,"curah ku memilih membuka plastik yang merekat pada toples kue kering.

Aku tidak tahu mengapa atmosfer hari ini membuatku berani berdebat dengan pria di depan mata. Padahal biasanya langsung terdiam tanpa kata-kata. Mungkin saja hal itu sebagai pelampiasan kekesalan untuk semua yang sudah terjadi seharian ini. Sekaligus untuk meregenerasi kepala dari revisi perancangan.

"Sejak kapan Anda punya vas bunga di rumah?"tanyaku.

"Sejak semua pesan dan telfon saya tidak di respon mahasiswi bimbingan. Jadi, kalau itu terulang lagi bisa dipakai untuk memukulnya,"ucap Wira membuatku melongo.

"Jadi ceritanya Mas masih marah?"tanyaku menatapnya geli.

Pria itu hanya melengos tidak peduli beranjak meninggalkan ku di ruang tamu. Aku yang merasa unik dengan perubahan sikap Wira tentu saja tidak akan diam berpangku tangan. Langkah kecil ku berusaha menyusul langkahnya memasuki kamar.

Kamar ini kembali pada bentuk awalnya dengan barang ku di sisi lain tempatnya. Satu hal yang membuatku tidak bisa berhenti tersenyum adalah potret yang dirinya taruh di atas mejanya. Akh, itu foto ku saat ke bioskop. Bagaimana pria itu mendapatkan potret ku yang memalukan dengan air mata berlinang?

"Mas, kenapa tidak memasang foto saya dengan posisi lebih baik? Sedang tersenyum atau apa gitu,"ucapku melayangkan protes.

"Kamu kan memang cengeng,"ucap Wira membuatku menelan ludah kasar.

Aku lupa dirinya itu kanebo kering. Beberapa hari ini perlakuan manisnya membuatku lupa dirinya tetap kanebo kering. Mataku melirik dirinya yang tengah bersandar di sofa memegang tablet nya. Jika aku yang memegang benda itu tidak lain hanya untuk menonton.

Sangat berbeda dengan dirinya yang sibuk belajar dalam situasi apapun. Sepertinya belajar adalah harga mati bagi pria itu. Akh, biarlah. Wira dan belajar adalah satu kesatuan. Entah mengapa terkadang hal itu membuatku terpacu untuk terus belajar.

Baru saja hendak membuka buku, perut ku terasa begitu terguncang. Aliran cairan mengalir cepat di tenggorokan mendukung untuk segera keluar. Kaki ku melangkah cepat menuju kamar mandi tanpa peduli lagi dengan Wira. Bibir ku terasa pahit dan perut pun terasa begitu mulas.

Saujana Sandyakala ~ CompletedWhere stories live. Discover now