18: Burung Juga Aman

3.8K 267 36
                                    


Wow. Itu adalah momen paling awkward seumur hidupku.

Momen paling kutunggu, sekaligus paling awkward.

Kukira aksiku mencium Kail di SPBU somewhere over the rainbow itu udah cukup buat menghancurkan reputasiku sebagai anak bos baik-baik. Tapi ketika ciumannya datang dari Kail sendiri ....

... sumpah aku enggak tahu mesti ngapain.

Oke. Apa yang kurasakan?

Terkejut.

Senang. Happy. Gembira. Meledak-ledak oleh kenikmatan, tetapi aku tetap terkejut. Setengah diriku bertanya, "Kok? Kok? Kok?" Jantungku otomatis berdenyut cepat. Keringat dingin merembes keluar dari permukaan kulitku, seolah-olah aku baru saja melihat hantu. Mungkin mukaku memerah juga. Karena malu. Sampai akhirnya tiba lagi di truk, aku enggak bisa berkata apa-apa.

Kecanggungan itu juga dialami oleh Kail. Sepanjang perjalanan menuju Bengkulu, dia tak berani menatap mataku. Tentunya dia mencuri-curi pandang ke arahku, tetapi setiap pandangan kami bertemu, buru-buru dia mengalihkannya dengan salah tingkah.

What are you doing, Kail? Kenapa pada saat-saat seperti ini kamu melakukan itu? Kamu bukan sedang menakut-nakuti bajing luncat dengan pura-pura menjadi LGBT. Enggak ada yang melihat kita di lorong itu. Kenapa kamu menciumku?

Kan sekarang aku jadi galau, tahu?

Aku jadi baper.

Mendadak Ido enggak lebih baik dari Kail. Enggak lebih seksi, dan aku enggak tertarik sepenuhnya lagi sama Ido. Kan aku enggak mau memilih salah satu sebenarnya. Aku pengin keduanya.

Dalam perjalanan ke Bengkulu, Ido menyetir. Kail duduk di jok sebelah Ido, sementara aku dan Yusuf di jok belakang. Satu tangan Yusuf yang memegang pistol diletakkan di atas jok, dengan moncong pistol mengarah padaku, tetapi ditutup oleh sehelai handuk. Bagi Kail dan Ido, aku masih dalam ancaman. Sebenarnya, Yusuf tidak menodongku lagi. Di bawah handuk itu tangan dan pistolnya tidak dalam kondisi siaga.

Untuk mencapai Bengkulu, kami membutuhkan sekitar 7 sampai 8 jam lagi. Sayangnya, ini menjadi perjalanan paling membosankan yang sudah kami lalui sejauh ini. Tidak ada hiburan, tidak ada obrolan, tidak ada Instagram. Ido berkali-kali mencoba mencairkan suasana.

"Gimana kalau tebak-tebakan? Ikan, ikan apa yang—"

"Bacot!" penggal Yusuf seketika.

Ido terkejut. "Yah, Bang. Cuma ngajak tebak-tebakan doang."

"Kamu lagi nyetir, bukan lagi nongkrong. Fokus aja ke jalan."

Ido menelan ludah dengan bete.

Beberapa menit kemudian, dia mengusulkan, "Putar lagu gimana, Bang? Gue ada playlist lagu-lagunya Lesti Kejora."

"Enggak perlu," jawab Yusuf.

"Kalau gue yang nyanyi?"

"Mau gue tembak anak bos kamu ini?!"

"Issshhh ... jangan dooong," sahut Ido agak panik. "Ampun, ampun. Kagak bakal nyanyi deh, gue. Ampun."

Ido menggelengkan kepala dengan bete. Tak lama dia mengoceh lagi.

"Kalau menurut kalian nih, ya .... Maksudnya Kepak Sayap Kebhinekaan itu, apa kira-kira?"

CKLEK!

Selongsong pistol seperti disiagakan untuk menembak. "Keluar lagi satu kata dari mulut kamu, anak ini mati. PAHAM?!" ancam Yusuf.

"Paham, paham, paham!" Ido mengangkat kedua tangannya dari setir. Menoleh takut-takut ke belakang.

Dua Sopir GantengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang