🪐 51 • Jangan Menghindar 🪐

52 5 0
                                    

"Itu pertama kalinya gue ngerasain yang namanya dikhianati," ungkap Ian, sekaligus menjadi pertanda bahwa cerita singkatnya telah tuntas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Itu pertama kalinya gue ngerasain yang namanya dikhianati," ungkap Ian, sekaligus menjadi pertanda bahwa cerita singkatnya telah tuntas.

Menarik napas panjang, Ian berusaha menguatkan diri di saat dadanya mulai terasa sesak. "Dia nganggap gue sebagai orang asing ... di depan laki-laki lain. Dia mempermalukan gue di depan umum, menghina gue sesuka hatinya. Dia menjatuhkan harga diri gue sampai di tempat terendah. Dan, dia ... menghilangkan kepercayaan gue untuk selamanya." Tak disangka, air mata yang sejak tadi ia bendung akhirnya lolos juga.

Tersentak, Ian refleks menunduk guna menyembunyikan tampangnya yang sangat memalukan. Tidak, jangan sampai Tania melihat bulir itu keluar dari matanya. Ah, lelaki mana yang ingin terlihat lemah di depan wanita? Namun, sayang, usaha Ian tersebut ternyata sia-sia karena Tania sudah terlebih dahulu melihat sisi rapuhnya.

Ian sengaja berbalik badan, menghapus kasar jejak cairan bening yang sempat membasahi pipi. Setelah dirasa siap, barulah ia kembali menatap Tania. Mengembuskan napas berat, entah mengapa lelaki itu selalu tidak kuat jika membahas masa lalu. Hatinya seakan-akan tercabik. "Pertanyaan gue cuma satu, Tan ..., 'kenapa?'. Kenapa dia ngelakuin semua ini? Gue sama sekali nggak ngerti. Terakhir kali, hubungan kita baik-baik aja. Tapi, kenapa dia tiba-tiba pergi dan memilih cowok lain?" ucapnya lirih.

Tania menatap Ian pilu, hatinya ikut teriris ketika mengetahui adanya segudang luka tak kasatmata yang berada dalam diri sang lelaki. Tak pernah sekalipun ia menduga bahwa Ian pernah mengalami fase sesulit itu. Di balik senyumnya yang menawan, nyatanya tersimpan rasa sakit yang mendalam.

"Lo tau, nggak, sih, gimana rasanya ketika orang yang lo cintai, orang yang lo percaya diem-diem berkhianat, pura-pura nggak kenal sama lo, bahkan menjatuhkan harga diri lo setelah dia tiba-tiba ninggalin lo tanpa kabar? Jujur, Tan ..., gue BENCI banget sama diri gue sendiri. Sekarang, mungkin Clara udah bahagia sama pacar barunya itu. Sedangkan, gue? Gue masih stuck di sini ..., di tempat yang sama dengan luka yang sama. Menyedihkan, ya?" Ian tersenyum getir.

"Ibarat kata, posisi gue waktu itu, tuh, sama aja kayak tanah yang diinjek Clara," lanjutnya. Melihat Tania yang menggeleng, seakan-akan ingin menentang, Ian lekas meneruskan kalimatnya. "Iya, Tan, sehina itu gue di mata dia."

Pernah, suatu kali Ian mengisolasi diri di kamarnya setelah dicampakkan oleh sang kekasih. Banyak yang terlambat menyadari bahwa sejak saat itu, pemilik nama Drian Alaskar telah lenyap, tergantikan oleh kebangkitan sosok baru yang jauh lebih kuat. Tidak ada lagi kata DITINGGALKAN, yang ada hanya kata MENINGGALKAN.

Menghela napas lelah, Ian memijat dahinya sebentar sebelum kembali membuka suara. Beralih memejamkan matanya, lelaki itu berniat meredam emosi. Tak baik jika terlalu lama terbawa suasana, kan? Alhasil, Ian jadi mengingat lagi bagaimana perlakuan Clara terhadapnya di masa lalu. Tidak bisa dimungkiri bahwa peristiwa tersebut mustahil hilang dari pikiran, kecuali ia amnesia.

"Awalnya, gue udah pasrah ..., gue sempet nggak percaya lagi sama yang namanya cinta. Dan, dari sana, lah, semuanya berubah, Tan. Gue mulai ngelampiasin dendam gue ke orang lain ..., gue mulai menjadi orang lain," jelas Ian.

"Tapi, gue beruntung banget karena di saat gue berubah ..., temen-temen gue nggak berubah." Perlahan, kedua sudut bibirnya sedikit tertarik. "Di saat gue jatuh, masih ada Bima, Bobi, sama Sofi yang selalu mendukung gue." Lantas, diraihnya salah satu tangan Tania. "Sampai akhirnya, gue ketemu sama lo ...," Ian meletakkan tangan gadis itu tepat di dada kirinya, "dan gue ngerasain hal ini."

Deg, deg, deg. Suara detak jantung yang bertalu-talu, layaknya sedang mengikuti maraton. Baiklah, Tania tidak bodoh! Gadis itu mulai mengetahui di mana benang merahnya. Spontan, pandangan mereka kembali bertemu, saling mengagumi keindahan mata masing-masing hingga salah satu di antaranya angkat bicara.

"Gue cuma ngerasain hal ini pas gue ada di deket lo. Jadi, yang salah di sini itu gue, Tan. Gue yang udah lancang menyimpan perasaan ini. Aneh, ya? Gue udah membuat sebuah batasan, tapi malah gue sendiri juga yang melanggar batasan itu," papar Ian.

Lelaki itu menatap kagum Tania. "Lo, tuh, jujur banget, Tan, apa pun yang lo lakuin itu selalu jujur. Setiap gue ngobrol sama lo, pasti aja bawaannya tenang ..., nyaman ..., damai ..., ya, kayak lepas aja, gitu." Entah bagaimana, Tania telah mengembalikan Ian pada jati diri yang sesungguhnya. Fakta berbicara bahwa hanya gadis itulah yang berhasil mengeluarkan sifat asli sang lelaki.

"Sampe gue ..., bisa-bisanya berharap lebih," tambahnya.

Tak ingin Tania salah pengertian, Ian kembali menerangkan. "Gue sadar akan hal itu, Tan, makanya gue memutuskan buat menghindar sebelum semuanya terlambat dan berakhir dengan kita yang saling menyakiti. Jujur, gue masih takut ..., gue takut ditinggalin lagi dan gue juga takut kalau ... perasaan gue ini cuma bersifat sementara."

"Jadi, lo nggak usah minta maaf, Tan ..., justru yang harusnya minta maaf itu gue. Maafin gue karena ... gue belum bisa menghapus rasa ini. Gue sendiri bingung sama apa yang harus gue lakuin sekarang. Maafin gue, Tan ..., maaf," sesal Ian, kembali menunduk.

Tania terdiam sejenak, butuh waktu sedikit lebih lama untuk menyerap semua fakta mencengangkan yang masuk ke telinga. Tersenyum paham, ia mendadak tergerak mengusap punggung Ian. Lambat laun, gadis yang semula sebatas menyimak itu memberanikan diri untuk merespons. "Gue ... nggak keberatan."

Ian mematung sesaat, jawaban Tania sangatlah ambigu. Tak berani menatap sang gadis, lelaki itu hanya mampu mempertahankan posisi tubuhnya. Sengaja, ia tak memberikan reaksi, masih menunggu Tania melanjutkan ucapannya.

"Itu hak setiap orang, kok. Kita nggak tau apa yang bakal terjadi ke depannya, kan? Jadi, lo jangan pernah mikir takut ditinggalin ataupun ... takut perasaan lo itu cuma bersifat sementara karena ... kalau belum menjalani, lo nggak akan pernah tau. Dibandingkan itu, apa nggak lebih baik kalau lo ngikutin alur aja tanpa mikirin prasangka yang belum pasti? Karena kalau lo kayak gitu terus, lo nggak akan maju-maju." Baiklah, Tania berusaha semaksimal mungkin menanggapi ucapan Ian sebagai pihak netral di sini.

"Wajar, kok, kalau lo ngerasa takut. Tapi, yang paling tau kondisi lo itu diri lo sendiri. Jadi, gue rasa lo pasti tau apa yang bisa bikin beban lo berkurang. Dan ..., lo nggak perlu sampe ngehindarin gue karena ... gue sama sekali nggak mempermasalahkan apa pun." Tania memberikan pengertian.

Hatinya lara mendengar keluh kesah Ian beberapa saat lalu, sebuah kalimat yang tak sempat ia susun tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutnya. "Gue memang nggak bisa janjiin apa-apa, tapi gue bakal selalu ada buat lo."

"Jangan jauhin gue lagi, ya ..., karena rasanya nggak enak banget," pungkasnya sambil menggeleng pelan, diiringi senyuman sendu.

Hah?! Tania nggak keberatan?!😱

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hah?! Tania nggak keberatan?!😱

Jangan lupa vote dan komen, guys!❤️

Dipublikasikan : 24 Oktober 2022

Aku Sandaranmu ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang