Rumah yang lama dingin perlahan hangat

987 221 19
                                    


Berat ya rentetan tuntutan dalam hidup ini? Padahal Ailen masih mahasiswa tapi pundaknya seolah kudu kuat menanggung beban negara.

Mungkin terdengar berlebihan bagi orang lain tapi bukankah manusia punya batasannya?

Kini kepala gadis itu pening, semalam ia begadang mengerjakan tugas sejarah seni tari dari masa ke masa yang harus harusnya presentasinya hari ini tapi mata kuliahnya pukul 8 itu tiba-tiba dicancel di menit-menit akhir saat Ailen sudah di kampus setelah sempat berdebat kecil lagi dengan masnya pagi itu.

Mbak yang biasanya memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah untuk mereka tidak masuk karena anaknya sakit dan Masnya tipe laki-laki yang harus disiapkan segalanya. Baju kerja yang harus distrika, sepatu yang harus digosok mengkilap, sarapan dengan makanan berat dan jangan lupa kopi susu serta bekal makan siang sebab masnya tergila-gila dengan masakan rumah dan tidak akan jajan sembarangan.

Ya, Ailen dituntut melakukan itu semua saat ia bahkan baru terpejam 3 jam lalu. Jam 6 pagi masnya menggedor kamarnya tergesa dan meminta sang adik melakukan segala yang harusnya dilakukan mbak mereka.

Jujur saja Ai kesal, ia keluar membeli nasi uduk, buru-buru menyetrika dan membuatkan kopi susu untuk masnya tapi yang didapat gadis itu hanya kritik bertubi-tubi.

"Baru kali ini loh mas makan sarapan dari luar Ai, biasanya mba masak. Setidaknya belajarlah, yang simple aja, nasi goreng sama telur aja mas udah seneng."

"Enggak sempat, ada kuliah jam 8, Ai juga harus buru-buru."

"Kalau ada kuliah harusnya bangunnya lebih cepat, idealnya perempuan emang harus bangun pagi,"

Ai yang sibuk menggosok kemeja kerja masnya seketika berhenti,

"Ah sepatu mas disemir ya nanti? Terus lain kali kalau bikin kopi susu kasi creamer dikit, ini payah banget. Masa kamu udah gede gini enggak tahu cara bikin kopi susu?"

"Udah selesai nih kemeja mas."

Ai tidak membalas segala tuntutan masnya, ia sibuk menggantung kemeja itu dan hendak beranjak.

"Mas semir sendiri ya sepatunya, Ai mau mandi, ada kuliah pagi."

Terlihat guratan kesal di kening masnya.

"Mas ini kerja buat kamu loh, enggak ada terima kasihnya kamu mas lihat-lihat! Diminta tolong semir sepatu aja enggak mau, gimana? Masak enggak bisa, beberes enggak bisa, perempuan macam apa? Enggak ada yang mau nikahin kamu kalau kayak gitu Ai!"

Pintu kamar mandi yang hendak tertutup itu tertahan oleh Ai yang kini balas nyalang menatap sang kakak.

"Aku adik mas deh perasaan bukan babu. Udah tanggung jawabnnya mas buat menghidupi dan menyekolahkan Ai sama seperti bapak menghidupi dan menyekolahkan mas. Lupa janji mas sebelum bapak meninggal?" Nafas Ai yang tadinya teratur berangsuk menjadi acak, ia menahan amarahnya kuat-kuat.

"Lagipula kalau Ai nanti nikah, Ai enggak akan mau punya suami kayak mas. Patriarki! Urusan dapur dan rumah bukan tugas perempuan aja, itu berlaku untuk semua gender! Dan tolonglah mas punya tangan sendirikan buat seterika dan gosok sepatu mas? Yang mau pakai itu semua Mas bukan Ai!"

Dan pintu kamar mandi dibantingnya keras.

Jujur ada rasa bersalah disaat yang sama, bagaimapun masnya adalah satu-satu keluarga yang dimiliki Ai tapi sayang sikap masnya itu kian hari kian menyebalkan saja, tidak punya pengertian dan perhatian sama sekali.

***

"Aduh Ailen!" Buru-buru Lula menopang tubuhnya yang tiba-tiba hilang keseimbangan.

Cycle mateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang