Epilog (Di akhir, kita jatuhnya berdua)

916 212 38
                                    


Sebulan lebih Arjuna mengenal Ailen, terhitung 10 hari mereka tidak berjumpa, hari-hari yang dilewati di atas sepeda saat sore terasa sudah siap tersimpan di file memori Arjuna, tanda bahwa kalau peristiwa-peristiwa manis dan singkat itu mungkin tidak akan terjadi lagi di masa depan.

Namun demikian Arjuna tetap datang setiap sore, menunggu di tempat yang sama, melaju di rute yang sama, pergi ke pantai yang sama. Sayangnya Ailen tidak pernah ada lagi.

Satu kali pernah Arjuna iseng lewat di depan rumahnya, namun kosong, mobil masnya juga tidak ada, lampu terasnya menyala padahal itu siang hari yang artinya lampu tersebut lupa dimatikan atau memang sengaja terus dinyalakan sebab sang pemilik tidak di tempat.

"Lo bego!" Nanang baru buka mulut tapi sudah dikatai Arjun hingga batagor yang sudah ada di depan mulutnya diletakkan lagi.

"Lokan punya nomor teleponnya! Teleponlah Nang, sok romantis amat nunggu dia dateng ke tempat sepedaan lo." Batagor yang tadinya milik Nanang sudah ada mulut Arjun hingga ia hanya menelan ludah sebab itu batagor yang terakhir di piring mereka.

"Nih ya, ibaratnya kurir aja tuh ngehubungin customernya dulu baru dateng bawa paketnya. Belajar tuh dari perumpaan itu." Arjun melanjutkan ocehannya, berbeda dengan Dimas dan Juna yang cuma menyumbang tawa sebab diomeli Arjun tuh mirip-mirip diomeli tante yang paling tua di keluarga, filosofis iya, nyelekit iya, pedes iya, pokoknya komplit.

"Enggak gitu Arjun, bukan sok romantis atau apa. Elo enggak akan paham deh, pokoknya gue cuma butuh dia dateng, udah, beres, selesai, done."

"Enggak ada lanjutannya? Pacaran gitu? Bilang aku selama ini suka kamu dan sejenisnya? Masa ceritanya selesai pas Ailen dateng?" Kali ini Juna yang menyahut.

"Enggak perlu kata-kata enggak sih? Maksudnya kalau Ailen dateng, sok atuh cium, jadian, udah, beres, selesai, done." Dimas menirukan kalimat akhir Nanang tadi sembari memberikan pendapat ampasnya dan berbuah helaan nafas dari tiga Arjuna di hadapannya.

"Tapi... ada benernya sih kata si Dimas, kadang action said louder than a word." Nanang sedikit terpengaruh.

"Yeee si ceking! Yang ada lo digampar kalau enggak ada mukaddimah terus langsung kokop. Mikirlah, jangan biarin ideologi Dimsbret bersarang di kepala lo!"

Hahaha Nanang tertawa mendengar panggilan si Ceking itu sebab sungguh badannya naik beberapa kilo sebulanan ini, ototnya mulai sedikit membentuk juga, kalau kata Dimas itu hasil semedi di gym tiap hari bareng Juna tapi Nanang merasa senang tiap kali bercermin, untuk pertama kalinya ia merasa IDEAL.

Percaya dirinya naik drastis, ia merasa menjadi lebih baik berkat usahanya dan idealnya akan sempurna jika perempuan yang ia selalu nantikan di jalur sepeda mereka hadir kembali... tapi entah kapan.

Pikirnya akan lama, pikirnya Ai tidak akan pernah datang tapi ternyata hari itu tiba...

Sepeda biru serta helm berwarna senada itu muncul dari kejauhan sore itu, dikendarai oleh pemilik senyum yang sangat familiar dan sangat dirinduinya.

Dan setelahnya yang Arjuna ingat jantungnya berdegup amat kencang sampai ia bisa mendengar dentumnya sendiri, pergelangan kakinya terkunci, ia dihampiri dengan pelan sosok Ailen yang sudah lama tidak dipandang.

Lalu saat selesai mengucapkan, "akhirnya kamu datang?" mereka saling mendekap.

Ternyata benar jika tidak ada pembuka, tidak cerita penjelasan panjang lebar, ternyata gadis dalam dekapannya ini buncahnya sama, ternyata semuanya tidak dapat dijelaskan dengan sepotong kata jadi ia hanya menerjang kala Arjuna buka lengannya.

Ailen... juga rindu sama besarnya.

Di H-3 lomba penting yang harus diikutinya, ia jatuh sakit, dilarikan ke UGD sebab asam lambung yang parah dan dibiarkan saja oleh pemilik tubuh yang selalu bilang ia tidak apa-apa.

Cycle mateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang