Tiap manusia punya titik didih

547 186 21
                                    

Rumah Arjuna adalah dua rumah perumahan tipe 70 yang direnovasi dan dijadikan satu hingga lebih mewah, dibuat dua lantai dan garasinya luas. Ada dua mobil antik, satu honda jaz putih yang Ailen tebak adalah mobil sehari-hari Nanang, ada satu vespa matic dan satu lagi motor benelli klasik, mereka memarkirkan sepeda di dekat jejeran kendaraan itu.

"Bang, Panji mau keluar bentar! Ditungguin dari tadi ih, takutnya kalau abang pulang kaget enggak ada Panji." Pemuda yang lebih tinggi dari Nanang itu awalnya santai sebab belum menyadari dari balik punggung abangnya ada seorang perempuan.

"Ya udah sana, jangan pulang malam-malam. Eh, ini kenalan dulu sama temen abang."

Barulah Panji berdiri kaku dan dengan canggung menjabat tangan Ailen yang mencoba terlihat ramah.

"Halo Panji, gue Ailen."

"Hah? Alien?"

Persis abangnya, Panji salah menangkap nama Ailen pada awalnya.

"Ai-len, Nji."

"Ah, sorry kak Ailen. Btw maaf ya enggak sopan ninggalin rumah padahal ada tamu. Aku udah janjian sama temenku soalnya," nada menyesal Panji membuat Ailen buru-buru menggeleng, justru ia yang tidak enak bertamu mendadak begini.

"Lagian kayaknya lebih bagus deh kalau aku enggak di rumah hehehe." Kali ini nada meledek disertai alis yang naik turun memandang Nanang dan Ailen bergantian.

"Ck, udah sana ah! Orang Ailen cuma mau belajar bikin kopi."

Nanang mendorong punggung sang adik keluar namun Ailen masih sayup-sayup mendengar...

"Kak, abangku kopinya enak! Tapi tolong bilangin dia buat kurangin minumnya soalnya... aduh! Espresonya banyak banget, takut dia sakit jantung!"

Ailen tanpa sadar terkekeh, interaksi dua kakak beradik itu seperti menyebalkan dan menyenangkan disaat yang sama, ia bahkan sudah lupa kapan terakhir ia dan saudaranya berinteraksi sedemikian rupa.

"Hhhhh udah pergi kecoanya," Nanang menutup pintu diiringi suara kendaraan yang keluar pagar, tanda Panji sudah berangkat dan hanya tinggal mereka berdua di rumah.

Aduh kenapa tiba-tiba Ailen memerah mendapati fakta di rumah sebesar itu hanya ada ia dan Nanang, dua manusia yang berbeda jenis.

"Yuk langsung aja! Mau liat mesin penggiling kopi gue enggak? Biji kopinya gue beli langsung di Kintamani, Bali. Lo harus cium baunya ugh enak pol!"

Jika bersama dengan Ailen, pemuda itu memang selalu memancarkan aura cerah namun kali ini Ailen bisa melihatnya menyatu dengan semangat dan 'cinta', Ailen seketika menyadari betapa Nanang menyukai dunia kopinya.

"Mau, ayok! Gue juga suka banget sama Bali, Ibu gue orang Bali asli tahu kak?!"

"Oh ya?"

Bersamaan dengan tips-tips, takaran, suhu air dan tetek bengek lainnya soal perkopian cerita keduanya mengalir, dari curhatan betapa susahnya jurusan teknik sipil dan seni tari, meroasting saudara masing-masing, sampai cerita soal orang tua dan di situlah titik Ailen mengetahui jika orang terhangat yang ia kenal sejauh ini ternyata banyak ditimpa oleh dingin yang sangat dingin.

"Katanya Ibu kamu orang Bali? Kalau Bapak?" Nanang memulai sesi wawancaranya.

"Orang Jawa tengah. Kalau orang tuanya kak Nanang?"

"Dua-duanya orang Padang, ngerantau di sini dari masih muda. Kalau Bapak Ibu Ailen dimana?"

"Ibu di Bali, kalau Bapak... udah enggak ada. Meninggal dua tahun lalu."

Tidak ada kalimat i'm sorry to hear that atau apapun yang sejenis dengan itu, tidak ada kalimat duka atau penenang, orang-orang biasanya mengucapkan itu begitu mendengar kalau Ayahnya sudah tidak ada di dunia tapi Nanang hanya mengusap puncak kepalanya.

Cycle mateWhere stories live. Discover now