Bagian 61 ⭒࿈⭒ Pulang Terlambat

9 1 0
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



"Jadi, Mas Fian pulang telat ya, Mbak?"

Wanita yang berstatus sebagai kakak kandung dari Aldiano Lutfiansyah itu mengangguk mengiyakan. Baru saja Sajidah mengatakan pada Fitri, kalau Fian menelepon dan mengabari akan pulang terlambat hari ini. Bisa jadi pulang malam bahkan.

"Begitulah, dia harus mengantar barang ke Lumajang. Jadi kamu tidak perlu nunggu dia di depan teras seperti biasa," tutur Sajidah sembari melipat pakaian yang baru saja diambilnya dari jemuran.

Sajidah memang baru sempat mengambil jemurannya sore ini. Dikarenakan Maulida yang rewel sedari tadi. Gadis kecil itu lagi demam karena gigi-giginya sudah mulai tumbuh sekarang. Jika seusia Maulida, pastilah akan sangat sakit ketika gigi-gigi susu baru bermunculan. Karena keponakan Fitri itu terus saja menangis dan tidak nyenyak dalam tidurnya. Setidaknya, itulah pengakuan yang Fitri dengar barusan dari kakak iparnya tersebut.

"Hah, ya semoga saja tidak akan terlalu malam."

"Santai, tidak perlu khawatir. Percaya saja sama suami kamu itu, Fit."

Fitri tersenyum kecil. "Iya, Mbak benar. Aku harus percaya padanya," ujar Fitri masih dengan senyumannya. Gadis dengan lesung pipi itu meraih salah satu baju di depannya dan membantu Mbak Sajidah melipatnya. "Terus kondisi Maulida gimana, Mbak? Masih rewel dia?" tanya Fitri kemudian.

Helaan napas terdengar dari Sajidah setelahnya. "Ya, begitulah. Kasihan sebenarnya aku, tapi mau bagaimana lagi. Tadi sudah Mbak kelonin biar tidur," jawab Sajidah sembari menengokkan kepalanya ke arah putri semata wayangnya yang ia tidurkan di ruang tengah. Beralaskan karpet dan bantal empuk miliknya, Maulida tampak tertidur pulas di sana.

"Apa rasanya sesakit itu ya, Mbak?"

"Ya kamu bayangin aja, Fit. Gigi itu kan, keras. Dipaksa muncul ke permukaan dari dalam gusi, ya pasti sakitlah."

Fitri jadi ikut meringis membayangkannya. Pasti sakit sekali, pikirnya. Untuk anak kecil seusia Maulida, wajar jika gadis kecil itu sampai rewel dan menangis terus-menerus seperti beberapa waktu terakhir. Ia jelas pernah merasakannya saat kecil dulu, tapi ia lupa bagaimana rasanya saat gigi susu tumbuh untuk pertama kali.

"Iya sih, Mbak. Nggak bisa bayangin aku bakal sesakit apa."

Sajidah terkekeh. "Nggak usah kamu bayangin kalau gitu, udah biar si kecil Maulida aja yang ngerasain."

Kedua perempuan itu tertawa bersama setelahnya. Benar-benar merasa lucu dengan kalimat terakhir yang terlontar dari bibir Sajidah. Namun yang jelas, baik Fitri maupun Sajidah sudah selesai dengan percakapan mereka sore itu. Karena setelahnya, Fitri berpamitan untuk kembali ke dalam kamar. Sementara Sajidah yang sudah menyelesaikan acara melipat pakaiannya, juga harus kembali ke kamar dan menidurkan Maulida di sana.

⭒࿈⭒

Sore berganti malam. Mentari yang tenggelam sudah digantikan oleh Rembulan yang merajai langit malam. Bintang-bintang yang tak mau kalah pun juga ikut meramaikan langit malam. Tak ketinggalan cahayanya yang bersinar dengan indahnya di atas sana. Adapun bintang yang juga berkumpul bersama kelompoknya untuk membentuk rasi seperti biasa.

Begitu indah, begitu menawan adalah kata yang pas untuk disandingkan dengan salah satu ciptaan Tuhan tersebut. Langit adalah bagian terpenting dari alam semesta yang sedari dulu sudah menarik banyak perhatian makhluk hidup di sekitarnya, terutama manusia.

Tidak ada orang di dunia ini yang tidak mengagumi indahnya langit malam di atas sana. Sebagian besar orang yang tinggal dan tidur berselimutkan langit malam, pasti menyukainya.

Tak terkecuali Fitriana Ayodya.

Azan isya' sudah berkumandang beberapa saat yang lalu, tapi Fitri masih saja termenung di situ. Menunggu sang suami yang tak kunjung berpaku. Entah sudah sampai di mana Fian saat ini. Karena Fitri pun sudah menunggu di teras sejak tadi.

"Mana sih, Mas Fian? Kok sampai sekarang belum pulang juga? Bikin khawatir saja tahu, nggak?" gerutu Fitri sembari berdecak sebal. Gadis itu terus saja menggerutu dengan bibir yang sudah maju-maju.

Bagaimana tidak? Ini sudah di luar ekspektasinya. Harusnya sang suami tidak pulang semalam ini, menurutnya. Ia memang tidak tahu Fian sudah sampai di mana sekarang. Akan tetapi, apakah suaminya itu tidak ada inisiatif sama sekali untuk menghubungi orang rumah barang sebentar?

"Telepon kek, atau apa kek. Ini malah nggak ada kabar sama sekali."

Masih dengan gerutuan sebalnya, Fitri berdiri dan mulai beranjak mengambil sandal. Memakainya dengan kaki yang dihentak-hentakkan dan mulai berjalan ke jalanan utama desa untuk menunggu Fian. Ia hiraukan panggilan Mbak Sajidah yang menyuruhnya menunggu di teras rumah saja.

"Nggak, Mbak! Aku mau nunggu di kali dam aja!" pekik Fitri sembari melambaikan tangannya pada sang kakak ipar.

Sajidah sendiri hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan sang adik ipar tercinta. Mau dicegah pun bagaimana, Fitri sama-sama keras kepala sepertinya. Akan susah dibujuk jika sudah seperti ini.

"Hadeh, anak itu."

⭒࿈⭒

Tuk! Tuk! Tuk!

Suara ketukan sandal yang beradu dengan lantai itu membuat Fian harus kembali meneguk ludahnya susah payah. Netra sehitam jelaga dari sang istri tampak menusuknya dengan tajam di sudut sana. Rasa gerah yang dirasanya karena keringat, kini semakin bertambah kala tatapan tajam itu terarah padanya.

"Maaf, Fit. Kan tadi aku sudah telepon ke rumah kalau akan pulang telat," cicit Fian dengan ekspresi memelasnya.

Tidak ada respon apapun dari Fitri setelahnya. Gadis itu masih saja diam di sudut ruangan kamar mereka sembari bersedekap dan menatap lurus-lurus pada sang suami, Aldiano Lutfiansyah. Bukannya ia tidak ingin menjawab, tapi ia bingung harus mengatakan apa. Ia sudah lelah jika ingin meladeni dan memarahi suaminya sekarang.

Jadi lebih baik, ia tidur sekarang.

"Makan malam ada di dapur, jangan lupa mandi dan cuci kaki. Aku mau tidur dulu," tutur Fitri sembari memungut pakaian kerja sang suami dan memasukkannya ke dalam keranjang kotor.

"Kok gitu sih, Fit? Kamu marah sama aku? Kalau iya, bilang saja. Jangan cuekin aku seperti ini. Aku tidak akan sanggup, sayang."

Fian merengek dengan bibir yang sudah dimaju-majukan. Membuat Fitri harus rela menahan diri agar tidak mencubit kedua pipi suaminya itu. Sungguh, Fian mode manja itu sangat menggemaskan, tahu!

"Nggak ada yang cuekin kamu. Sudah sana, aku mau tidur." Fitri mengibas-ibaskan tangannya mengusir sang suami agar keluar kamar. Fian yang tidak mau, hanya menahan badannya di sekat pintu.

Jadilah kedua suami-istri itu saling dorong-mendorong di sekat pintu kamar mereka. Tak lupa dengan gerutuan sebal Fitri dan rengekan manja Fian. Sajidah yang kamarnya memang paling dekat dengan kamar kedua pasutri itu jadi mendengar keributan mereka. Kakak perempuan Aldiano Lutfiansyah itu langsung menghampiri asal suara keributan, dan Sajidah dibuat terperangah setelahnya.

"Kalian berdua ... lagi ngapain?"



•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rajawali Ayodhya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang