Bagian 72 ⭒࿈⭒ Hampir Terpenuhi

13 2 0
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Sejak malam itu, tiada hari mereka tanpa absen melakukannya. Terkadang Fitri sampai kewalahan jika sudah melayani nafsu suaminya. Ia sama sekali tidak keberatan, karena itupun juga merupakan kewajibannya. Apalagi ia sudah meminta Fian untuk menunggunya setelah sekian lama. Bahkan ini sudah hampir empat bulan dari pernikahan mereka. Rasanya wajar kalau suaminya akan jadi sebrutal itu di atas ranjang.

Setiap hari ia harus memakai selendangnya demi menutupi ruam-ruam merah di area leher dan bahunya. Bahkan sang adik, Mufidah terus menggodanya habis-habisan. Menyebalkan sekali memang adiknya yang satu itu.

Fitri yang saat ini tengah berada di dalam toko sembari menunggu adanya pembeli, mengelus perut ratanya sembari tersenyum tipis. Gadis itu berharap adanya si kecil yang akan hadir di dalam perutnya dan akan melengkapi kehidupan rumah tangganya. Itu harapan terbesarnya untuk saat ini.

"Mbak Fitri! Dipanggil Ibu!"

Seruan sang adik yang berasal dari depan itu membuat Fitri sedikit terlonjak kaget. Dengan cepat Fitri beranjak berdiri dari duduknya dan menghampiri sang adik yang masih berdiri di depan toko. Adiknya itu memegang ice cream di tangan kirinya. Membuat ia jadi ingin membeli ice cream juga.

"Mbak dipanggil Ibu, beliau ada di rumah."

Fitri mengangguk mengerti. "Beli di mana itu ice cream?" tanyanya pada sang adik.

Mufidah menatap pada tangannya. "Ohh, ini? Di Indomaret depan. Kenapa? Mbak mau?"

"Mau, lah. Nanti Mbak beli setelah dari pasar," tutur Fitri apa adanya. Gadis itu menitipkan tokonya sebentar pada sang adik, sementara dirinya bergegas pulang untuk memenuhi panggilan ibunya.

Jarak dari pasar dan rumahnya tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 100 meter saja jika dihitung. Jadi ia hanya perlu berjalan kaki untuk sampai ke sana. Melewati para tetangga dan para pendatang yang hendak berbelanja ke pasar. Banyak yang menyapanya saat ia berjalan. Tentu saja ia balas dengan senyuman.

Fitriana Ayodya.

Begitulah mereka mengenalnya.

Ia memang gadis yang cukup populer di desanya ini. Bahkan ia sampai mendapat julukan kembang desa dari orang-orang. Banyak pemuda seusianya yang patah hati waktu ia memilih Fian sebagai pelabuhan terakhirnya. Banyak yang memujanya, banyak yang mendambanya, tapi ia hanya ingin Aldiano Lutfiansyah seorang, bukan yang lain.

"Assalamua'laikum ..."

Fitri mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah dan mendapati sang ibu yang sudah menunggunya di ruang tamu. Nyonya Anetta duduk di salah satu kursi kayu tersebut sembari menatap Fitri dengan tatapan yang sulit diartikan. Wanita paruh baya itu sepertinya hendak membahas hal yang penting dengan putrinya.

"Waa'laikumsalam. Kok lama?"

"Iyaa, tadi ngobrol sebentar sama Mufidah. Kenapa, Bu? Ada hal penting yang mau dibicarakan dengan Fitri?" tanya Fitri yang langsung memilih untuk to the point. Ia sudah merasakan atmosfer yang tidak enak dari ibunya. Maka dari itu, lebih baik pembicaraan ini segera ia selesaikan.

"Iya, sangat penting. Ibu ingin bertanya, apakah Fian sudah memenuhi semua kebutuhanmu? Sandang, pangan, dan lain-lainnya? Karena terakhir kali kan kamu cerita kalau Fian di PHK dari pabrik."

Untuk sesaat, Fitri bisa bernapas lega karena sang ibu ternyata menanyakan soal keadaan dan kebutuhan rumah tangganya. "Soal itu ... Ibu tenang saja. Fian sudah mendapat pekerjaan baru, dan gajinya juga lumayan. Untuk pangan, sudah terpenuhi, kalau sandang ... itu masih bisa ditahan. Karena jujur, aku sedang tidak ingin membeli keperluan sandang dulu."

Tatapan Nyonya Anetta tampak sedikit lebih melunak sekarang. Tidak setajam tadi saat Fitri baru saja datang menghadap pada ibunya tersebut. "Lantas, bagaimana dengan rumah Pakdhe Kholil? Apakah kalian nyaman tinggal di sana?" tanyanya lagi.

Tanpa ba-bi-bu, Fitri mengangguk dengan semangat. "Sangaatt nyaman, Ibu. Lingkungan di sana cukup asri karena ada pohon mangga di depan. Yahh, meskipun ... dekat dengan jalan raya. Akan tetapi, itu tidak jadi masalah kok. Aku masih bisa tidur dengan nyenyak di malam hari," tutur Fitri apa adanya.

"Ya, mau bagaimana lagi. Rumahnya memang di seberang jalan raya. Yang jadi pemisah hanya halaman dan kios jamu di depan sana. Namun Ibu harap, kamu sudah bisa mengatasi masalah rumah tanggamu sendiri." Nyonya Anetta beringsut maju dan menggenggam kedua tangan putri keduanya tersebut dengan senyuman lembut keibuannya. "Ibu hanya khawatir padamu, Nduk."

Rasa haru langsung membuncah di dada Fitri kala kalimat itu keluar dari bibir sang ibu. "Aku tahu, Ibu. Maka dari itu sebisa mungkin aku akan mengatasi setiap permasalahan dalam rumah tanggaku sendiri. Aku dan Mas Fian pasti akan berusaha saling menjaga dengan sebaik mungkin," ujar Fitri seraya mengelus punggung tangan sang ibu dengan lembut. Menatap wanita paruh baya yang berstatus sebagai ibu kandungnya itu dengan penuh haru.

"Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku."

⭒࿈⭒

Selepas dari rumah sang ibu, Fitri langsung kembali ke pasar dan menjaga toko bersama adik perempuannya. Akan tetapi, Mufidah sedang tidur sekarang. Tidur di dalam toko, beralaskan karpet kecil yang memang sengaja disediakan di sana untuk tempat merebahkan diri barang sejenak.

Ia ikut merebahkan diri di samping adiknya dengan kepala yang ia hadapkan ke depan toko. Sembari mengawasi toko kalau ada pembeli. Dipikirkannya lagi kalimat-kalimat nasihat yang tadi disampaikan sang ibu padanya. Karena bagaimanapun, ia juga harus penuh pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan. Tidak boleh gegabah intinya.

"Semua kebutuhan memang sudah terpenuhi, aku sudah merasa cukup. Kecuali ..." Fitri mengelus-elus perutnya dengan senyuman tipis. "Seorang bayi yang akan tumbuh di sini. Aku sungguh mengharapkan kehadirannya," kata Fitri dengan pelan. Bahkan saking pelannya, Mufidah pun tidak akan bisa mendengarnya. Adiknya itu sudah tidur terlalu pulas.

Lalu-lalang orang di pasar pun tak membuat senyumnya luntur. Ia merasa jadi wanita paling beruntung sedunia karena memiliki suami yang pengertian seperti Fian. Memiliki sahabat-sahabat yang baik dan setia seperti Silfy dan kelima sahabatnya yang lain.

Memiliki teman ngobrol yang bisa diajak berantem seperti Rama. Memiliki kakak ipar yang begitu cerewet tapi baik seperti Mbak Sajidah. Lantas Sara Mona yang selalu membuatnya geleng-geleng kepala. Kemudian kedua mertuanya yang sangat menyayanginya selayaknya anak sendiri.

Lihat, 'kan?

Kurang beruntung apa dirinya? Ini sudah lebih dari cukup untuk bisa membuatnya merasakan arti dari bahagia. Mungkin jika perutnya sudah isi, ia akan bisa merasakan arti dari kebahagiaan yang sesungguhnya. Rumahnya akan penuh dengan tangisan bayi.

Hah ... pasti akan sangat menyenangkan.

Seulas senyum spontan terbit di bibir Fitri sekarang. Tangannya masih saja mengelus-elus perut ratanya dengan sayang dan sangat perlahan.

"Cepatlah tumbuh, sayang. Ibu menantikan kehadiranmu."



Aaaa, nggak sabar juga nungguin Fitri hamil, xixi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aaaa, nggak sabar juga nungguin Fitri hamil, xixi.

Rajawali Ayodhya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang