Dua perempuan tengah asik menonton serial TV di hadapan mereka. Keduanya duduk bersisian di sebuah sofa. Sudah lebih dari lima episode mereka habiskan, hingga tampaknya satu dari mereka mulai jenuh.
Tidak lagi fokus pada tontonan itu, Dey yang bosan memulai aksi perecokan dengan mengambil tangan kiri Gita dan memainkan jari-jarinya. Satu gumaman lolos dari bibirnya. "Jari kamu lentik banget dah, Kak."
Gita tidak mengalihkan tatapan dari layar TV meski mendengar jelas ucapan itu. "Ya dikasihnya begini."
Dey tertawa kecil mendengar nada datar nan cuek khas perempuan di sebelahnya. Ia tahu tidak ada maksud apa-apa dari manusia yang kerap mendapat julukan kulkas, orang kutub, dan berbagai hal yang menggambarkan sikap dinginnya. Gita hanya bukan tipe orang yang menunjukkan perasaannya lewat ucapan manis.
"Jari aku bantet, nggak kayak kamu punya." Dey memasang ekspresi sedih dengan bibir sedikit maju. Ia memang sedikit-banyak merasa insecure dengan kelentikan jari-jari panjang Gita.
Dey terkesiap saat dalam satu gerakan cepat, Gita ganti menguasai tangannya. Ia rentangkan jari-jari milik Dey dan menilik dengan penuh penilaian. "Jarinya berapa?"
Dey mengernyit bingung mendengar pertanyaan aneh itu. Gita kembali mengangkat tangan Dey yang sedang ia pegang—menegaskan objek pembicaraan yang ia maksud. "Ini. Jarinya berapa?"
"... lima."
Dey makin dibuat bingung saat Gita mengangguk-angguk sambil terus memandangi tangannya penuh tilikan.
"Bisa buat makan?"
Apaan sih nih Kulkas? Namun, Dey tetap mengangguk, hanya mengikuti arah pembicaraan yang entah ingin Gita bawa ke mana. "Bisa."
"Buat nulis?"
"Bisalah!" ungkap Dey sedikit tidak santai karena pertanyaan Gita yang dirasa tak masuk akal.
"Kukunya bagus ya karena kamu pinter rawat." Gita menyentuh kuku Dey yang memang tampak sangat indah dengan nail art motif sederhana yang terpatri di sana. "Bisa buat berdoa?"
"Ya bisa dong, Kak Gitaaaa," jawab Dey. "Kenapa sih nanya begitu? Random banget."
"Bisa digerakin buat bantu kamu dance?" tanya Gita menyebutkan salah satu hobi dan minat Dey.
"Bisa, bisa, bisa," jawab Dey cepat karena gemas.
"Bisa buat—"
"Udah ah. Kamu nggak jelas," ucap Dey akhirnya. Menyerah dengan ketidakjelasan pertanyaan Gita, ia hendak beranjak dari duduk, tetapi tangan Gita yang masih bertaut menahannya.
"Terakhir." Gita menepuk kedua pahanya. "Sini."
Dey sontak menggeleng cepat. "Aku berat."
Mendapati Gita menatap matanya tajam dengan ekspresi tak suka, buru-buru Dey menambahkan, "Kasian kamunya, Kak..."
Sekian detik terdiam, ekspresi Gita kembali ke default muka datarnya, lalu melepaskan tangan Dey yang sedari tadi masih ia genggam. Ia hendak beranjak untuk mengambil ponselnya di meja saat Dey menurut dan duduk di pangkuannya.
"Nggak usah ngambek," ujar Dey.
"Siapa juga."
Dey tersenyum jahil melihat Gita kesal dengan candaannya. Ia menyodorkan tangannya yang tadi digenggam Gita ke udara, mengingatkan Gita untuk melanjutkan ucapannya yang belum selesai.
Gita melingkarkan lengannya pada tubuh Dey, lalu kembali memainkan jari Dey untuk mereka lihat bersama.
"Bisa buat pegang tangan aku, gandeng aku, ngusap kepala aku?" tanya Gita kembali dengan berbisik. Dey menoleh pada Gita yang telah menaruh dagu pada bahunya.
"Bisa, Kak Gita sayang..."
Gita mengangguk pelan. "Banyak ya fungsinya. Bisa bantu kamu ngelakuin banyak hal."
Dey terkekeh saat akhirnya mengerti maksud dari berbagai pertanyaan aneh Gita. Dey pun berbalik menghadap Gita dan memeluk lehernya erat. "Iya, iya. Aku bersyukur kok punya tangan dan jari yang lengkap, yang berfungsi. Maaf ya kesannya aku kurang bersyukur."
Gita mengusap rambut Dey lembut, senang karena point perkataannya dapat sampai. "Jangan fokus sama hal yang nggak bisa kamu ubah. Lagian kamu cantik karena hati kamu cantik, bukan karena jari kamu lentik. Kamu juga udah rawat diri dengan baik sampe banyak orang yang terpesona sama kamu."
Dey tertawa. "Kamu jadi banyak saingan, maksudnya?"
Gita mengangguk dan bergumam. Dey melonggarkan pelukannya untuk menatap Gita. "Kan tangan aku cuma buat pegang tangan kamu, gandeng kamu, sama usap kepala kamu. Yang lain mana bisa?"
Gita tersenyum kecil. "Gimana tuh?" tanya Gita jahil, memancing Dey untuk membuktikan maksudnya.
Dey tertawa saat menangkap maksud Gita. "Dasar modus."
Sedetik kemudian, ia mengusap pipi Gita sambil menatap matanya lembut. "Ini aja. Belum disebut tadi."
Gita tertawa kecil. "Jadi makin banyak deh fungsi tangan kamu."
"Kan buat kamu doang."
Kali ini, Gita tidak dapat menahan senyumannya. Deretan gigi rapinya tampak jelas. Ia menutup mata untuk menikmati usapan Dey.
"Makasih ya udah ingetin aku."
Gita membuka mata dan menatap Dey. Ia tersenyum lembut. "Anytime, Sayang."
***
Date published: 5/10/2022

YOU ARE READING
Wheel Picker
Short StoryAll are out of the blue. Random cast oneshots. Will your favorite(s) appear? #JKT48