[Gitkath] - Pilihan

1.6K 103 30
                                    

Tips to enjoy this fanfiction: bayangin visual sesuai keinginan kalian. Mau member ataupun bukan, silakan aja. Jangan terpaku sama nama cast karena hanya minjem aja kok hehe. Create your own imagination, kay? Enjoy <3

"Yakin nggak mau ganti baju dulu?"

Kathrina yang sudah bersiap turun dari mobil menoleh pada Gita. Dalam sekali sapuan ia meneliti tubuhnya sendiri. "Aneh ya baju aku?" tanyanya menjadi sedikit ragu.

Mobil mereka bertengger di parkiran salah satu mal di Jakarta karena permintaan tiba-tiba Kathrina untuk makan malam di salah satu restoran di sini. Kathrina baru saja menyelesaikan photoshoot dengan suatu brand lip care dan saat ini, ia masih mengenakan pakaian untuk pemotretan tadi. Outfit sederhana berupa setelan semi-formal, tetapi blazer yang saat pemotretan membungkus tubuhnya sudah tersampir di headrest, menyisakan blus putih tanpa lengan dan celana bahan cokelat. Tidak nyentrik ataupun berlebihan. Namun nyatanya, pertanyaan singkat Gita sedikit-banyak langsung menggoyahkan kepercayaan dirinya.

"Enggak." Gita mengambil topi putih miliknya di jok belakang dan mengenakannya. "Takut kamu gerah aja."

"Hmm, enggak kok. Aku nyaman."

Gita mengangguk singkat. "Blazernya dibawa aja. Takut dingin di dalem."

Kathrina menurut. Keduanya pun berjalan beriringan menuju restoran tujuan mereka. Kathrina menggamit lengan Gita sepanjang perjalanan, sesekali mengomentari hiasan mal atau pajangan lucu beberapa toko yang mereka lewati.

Hingga sampailah mereka di salah satu restoran bernuansa glamor. Menunya hanya berkisar pada sushi dan beef, tetapi harganya bisa setara UMR Jakarta untuk sekali makan. Meskipun menunya lekat dengan kuliner dari Negara Matahari Terbit, interior restoran ini hampir tidak ada unsur Jepang. Hanya seperti restoran fine dining pada umumnya yang menonjolkan kemewahan dari segi warna dan furniturnya. Kesan monokrom mendominasi, membuat kesan elegan begitu nyata terkuar.

Bukan baru sekali-dua kali mereka ke sini. Jika ada jumlah minimum untuk dinobatkan sebagai "pelanggan tetap", rasanya mereka sudah jauh melampauinya.

Keduanya langsung menempati salah satu meja yang berkapasitas empat orang. Bukannya mereka maruk, hanya saja restoran ini memang menyediakan kursi paling sedikit untuk empat orang di satu meja. Entah apa maksudnya. Mungkin mempertimbangkan harga makanan restoran yang cukup pricey, urunan empat orang tentu tak terlalu memberatkan daripada hanya berdua, apa lagi sendiri.

Padahal harganya tetap per porsi masing-masing.

Begitu duduk, seorang waitress langsung memberikan buku menu pada keduanya dan bersiap untuk mencatat pesanan. "Chef's Recommend Course-nya satu," pinta Kathrina, bahkan sebelum ia membuka buku menu yang diberikan.

"Baik. Untuk steak-nya rare, medium, atau well-done, Kak?" tanya sang waitress sambil mencatat.

"Well done. Minumannya no sugar, ya." Baru setelahnya Kathrina membuka buku menu dan sibuk berselancar memilah menu di dalamnya. Yang tadi itu adalah untuk Gita. Perempuan yang sedang sibuk berkutat dengan ponselnya itu selalu memesan menu yang sama tiap kali mereka datang.

"Kalau udah tau yang enak, ngapain coba-coba yang lain lagi? Gambling banget. Iya kalo enak, kalo nggak kan sayang."

Sebutlah Gita konservatif. Di tengah keinginan banyak orang mencoba sebanyak mungkin menu, dirinya hanya akan memesan menu yang sudah pernah ia coba dan tahu pasti enak. Dirinya bukan tipe orang yang suka mengeksplorasi. Setelah menemukan yang cocok, ia pasti memesan menu yang sama tiap datang kembali. Ia suka sesuatu yang pasti, bukan yang belum jelas hilalnya akan memuaskan atau tidak.

Wheel PickerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang