KEPUTUSAN BERSAMA

31 3 0
                                    

"Terima kasih sudah datang, Nadira," ucap lelaki yang masih dengan setelah kemeja dan celana hitamnya.

"Its, oke, Kak," jawab gadis berusia sembilan belas tahun itu.

"Kamu mau minum apa?"

"Nggak usah, Kak. Aku juga nggak bisa lama-lama, masih ada urusan di luar soalnya."

"Mau ke mana memangnya? Biar sekalian saya antar."

"Eh, nggak usah, Kak. Aku mau ke rumah teman, ada tugas kelompok, besok hari terakhir."

"Oh! Oke kalau gitu," ujarnya kemudian. "Kamu tahu sendiri kan masalah apa yang sudah diperbuat kakak kamu?"

Gadis dengan seragam putih abu-abu itu mengangguk beberapa kali.

"Kamu tidak keberatan dengan permintaan keluarga saya untuk melanjutkan rencana pernikahan itu, kan?" Lagi, pria bernama lengkap Batara Gunawan melemparkan pertanyaan pada Nadira.

"Kalau memang harus jujur, sebetulnya aku cukup keberatan. Hanya saja aku tahu dalam keadaan ini nggak ada jalan keluar. Sementara di sini, saudara perempuan kak Nirina hanya aku." Pungkasnya cukup panjang.

Terdengar helaan napas dari Tara, biasa laki-laki itu disapa oleh banyak orang.

"Saya juga sebenarnya merasa cukup berat, Dira. Hanya saja, ya kamu tahu keluarga saya, kan."

"Ya," sahut Dira singkat.

"Saya janji nggak akan melarang kamu dalam hal apa pun. Kalau semisal kamu ingin melanjutkan pendidikan, kamu bisa bilang ke saya, mau di mana pun akan saya penuhi."

"Gimana nanti aja, Kak. Aku nggak berharap lebih dari pernikahan itu. Aku takut, jika kita bersikap biasa selayaknya pasangan, tiba-tiba kakak datang. Itu, akan rumit nantinya."

"Ya, saya mengerti. Jadi?"

"Aku nggak mau mama dan ayah kena masalah lebih dari ini. Jadi ... siap nggak siap, aku akan melakukan apa yang keluarga kak Tara ajukan. Asalkan orang tua aku nggak masuk penjara."

Laki-laki yang berkisar usia tiga puluh tahun itu mengangguk paham. Lalu menyandarkan punggungnya pada belakang kursi cafe tak jauh dari tempatnya bekerja. Matanya menatap lurus ke arah jalanan, di mana bunyi bising begitu jelas terdengar sampai ke dalam cafe.

"Maaf kalau malah jadinya melibatkan kamu, Dira. Kalau saya pribadi, saya sudah merelakan semuanya, saya legowo dengan kejadian ini. Karena mungkin Nirina bukan jodoh saya, tetapi nyatanya itu tidak berlaku untuk mama dan papa. Mereka merasa malu jika pernikahan yang sudah siap digelar itu tiba-tiba batal. Saya ... " Tara menggantungkan kalimatnya.

Mata lelaki itu terlihat sedikit memerah. Dalam benaknya, mungkin masih jelas teringat berbagai kenangan bersama wanita yang teramat dicintai olehnya. Dan Dira, kini diam hanya memerhati. Tentu saja, orang tua mana yang tidak kecewa jika pernikahan yang sudah di depan mata malah hampir gagal begitu saja.

Sementara dari segi biaya, sudah 90% keluar semua untuk WO, Cattering, sewa gedung dan sebagainya.

Semua itu tidak murah untuk ukuran orang seperti keluarga Tara. Lelaki itu bukan pria kaya raya yang siap sedia jika calon istrinya menginginkan konsep pernikahan impiannya.

Tara harus menabung, bahkan rela lembur dan meminta adik perempuannya yang seusia Dira untuk berjualan online. Semata-mata demi bisa memberikan yang terbaik untuk pernikahan mereka nanti.

Meski kini yang terjadi, Tara ditinggal pergi di saat hari pernikahan tinggal satu minggu lagi. Siapa yang merasa rugi, hingga pada akhirnya orang tua menuntut keluarga Nirina untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan anaknya secara begitu susah payah.

Merasa kondisi ekonomi sama saja dengan keluarga Tara. Walau harus ganti rugi pun, nominalnya tidak akan mampu menutupi kerugian yang dialami Tara. Dan satu-satunya jalan adalah, menikahkan Nadira, sebagai adik Nirina dengan Tara.

.
Langit hari minggu begitu cerah, bentangan awan putih berayun pelan terbawa angin, bersama daun-daun dari pepohonan yang tumbuh berakar kokoh serta rindang, turut bergoyang lembut membawa hawa kesejukan.

Namun agaknya, tidak dengan Tara yang sudah rapi dengan setelan pengantinnya. Ada yang menjalar dari dalam hatinya, tak ayal mengundang keringat mulai bermunculan di area keningnya.

Dalam benaknya ia bertanya, bahwa dirinya tidaklah menikahi wanita pujaannya, melainkan hanya gadis pengganti yang usianya belum genap dua puluh tahun. Lantas mengapa harus segelisah ini rasanya?

.
"Sudah siap, Tara?"

Pria itu menoleh ke asal suara. Lalu hanya memberi anggukkan pelan.

"Ayo berangkat." Ajak salah seorang sepupunya.

Tara lagi-lagi tak menjawab, Tara hanya meraih peci hitam dan meletakannya di kepala, sedikit berkaca, sebelum kakinya kemudian beranjak dari sana.

                                ***

Sementara itu, di aula gedung yang sudah cantik dengan hiasan khas acara pernikahan. Nadira begitu cantik sewaktu didandani, padahal riasan yang menempel di wajah Dira tidaklah terlalu tebal. Namun, hasilnya begitu menakjubkan.

"Calon suami kamu pasti nggak bakalan ngedip." Goda salah satu asisten perias itu.

Nadira hanya tersenyum simpul tanpa mau menjawab perkataan barusan. Jahh dalam hati wanita itu terlalu bingung akan status yang akan disandangnya hari ini. Dan semoga saja, pria yang seharusnya menjadi kakak iparnya itu bisa menepati janjinya yang menjadikan pernikahan ini sementara saja, bukan untuk mengikat dirinya ... selamanya.

.
Ijab qabul sudah selesai terselenggara dan lancar. Tara berhasil mengucapkan nama Nadira dan mas kawin yang disebutkan tanpa ada kekeliruan. Kini Nadira, si gadis periang yang punya mimpi segudang, harus mengalah sebentar demi menutupi kesalahan yang kakak perempuannya perbuat. Dan pernikahan itu tak ada kendala sedikit pun dari awal hingga acaea itu berangsur usai.

.
"Banyaknya kado" Ucap Dira terkesima melihat tumpukan kotak berbalut kertas berbagai motif dan bentuk.

Tara yang juga sudah berganti pakaian dengan kaos berlengan panjang abu-abu itu melirik pada pojok ruang di mana berbagai hadiah dari rekan kerja dan beberapa teman Nirina datang mengucapkan selamat padanya.

"Kamu mau buka?" tawar Tara.

Dira nampak tertarik membuka kado-kado pernikahannya. Dengan binar yang tak bisa ia sembunyikan, gadis itu hanya menganggukkan kepalanya pelan.

"Oke, kalau begitu mari kita buka." Kata Tara seraya menempelkan bantalan pinggulnya pada lantai beralaskan karpet halus yang ada di kamar pengantin mereka.

"Kamu mau buka yang mana dulu?"

"Yang ini, Kak. Ini kecil banget, aku penasaran apa isinya," ujar Dira antusias.

"Coba buka."

Tanpa basa-basi lagi, Dira pun merobek kasar seolah tak sabar akan bentuk hadiah yang saat ini ia koyakkan.

"Hah, ini apa, Kak?" Dira mengerutkan kening penuh keheranan saat melihat sepuluh pcs bungkusan tipis persegi berwarna hitam dan merah di tangannya.

Buru-buru, Tara merebut dan menyembunyikan di belakang badannya tanpa mau menjelaskan pertanyaan dari istrinya barusan.

"Kok di ambil? Aku kan pingin tahu," protes Dira begitu polos.

"Ini bukan apa-apa, cuma mainan dari orang-orang iseng," sahut Tara dengan pipi bersemu kemerahan.

"Oh!" Dira mengangguk lagi. "Tapi kok pipi Kakak merah, kenapa?"

Bersambung ....

ASMARA DUAWhere stories live. Discover now