Bab 2

7 0 0
                                    

"Nanti kamu pulang jam berapa, Ra?"

Nadira mendongak sekilas pada suaminya yang duduk di seberang meja.

"Hari ini nggak ada ekskul, bisa pulang lebih awal," jawabnya sembari terus mengunyah sarapan roti bakar.

"Oh, oke," sahut Tara menganggukkan kepala. "Hari ini saya ada tugas keluar kota selama dua hari. Kamu nggak apa-apa sendiri di sini?" Sambungnya.

Nadira diam beberapa saat, ia pikir itu tidak apa-apa, toh dirinya sudah sering ditinggal sendirian sewaktu masih bersama kedua orang tuanya.

"Nggak apa-apa," ujarnya.

"Kamu yakin?" tanya Tara lagi

"Ya, aku udah biasa kok, Kak," pungkas gadis berambut hitam sebahu itu.

"Kalau gitu, kamu ke sekolah bawa kunci rumah ya. Satunya lagi buat cadangan kalau-kalau saya nanti pulang lagi lewat tengah malam." Ucap Tara memberi pesan dan Nadira hanya membalasnya dengan anggukkan pelan.

.
Pagi ini gerimis sudah turun sejak subuh tadi. Membuat Nadira malas menerjah rintik hujan sebab dingin terasa menyengat ke dalam kulit. Wanita itu masih diam di teras depan sembari terus menatap ragu pada sekat gerbang yang sudah basah kuyup.

"Kamu belum berangkat?"

Nadira tidak perlu menoleh ke arah belakang. Sebab di rumah sewa yang ia huni, tak ada orang lain lagi selain dirinya dan suaminya.

"Hujan, Kak," adunya.

Terdengar kekehan kecil dari laki-laki berpostur tubuh tinggi itu," Mau saya antar?" tawarnya.

"Nggak!" tolaknya tanpa berpikir panjang.

"Loh, kenapa?"

"Aku nggak mau ya, gadis-gadis itu mendadak centil gara-gara lihat Kakaknpas waktu itu mengantar aku," ucapnya.

"Wow, apa ini? Kamu cemburu?" goda Tara.

Nadira merotasikan kedua bola matanya sesaat setelah mendengar terkaan suaminya itu.

"Bukan!" elaknya. "Tapi mereka beria-ia meminta berkenalan dan bahkan meminta nomor ponsel Kakak." Paparnya terdengar jujur.

"Saya kira karena kamu cemburu," ucap Tara yang kali ini diselingi tawa sumbang.

"Hish! Mana ada aku cemburu, kakak udah aku anggap kakakku sendiri." Celetuk Nadira baru saja mengundang patahan.

Tunggu!

Apa ini artinya sudah ada yang menjatuhkan hati tanpa sadar?

Ayolah. Pasangan beda usia itu sudah tinggal bersama selama hampir empat bulan lamanya. Wajar jika rasanya itu menimbulkan sesuatu di antara salah satunya. Atau lebih baik untuk keduanya.

Sebab pepatah mengatakan, bahwa rasa ada karena adanya terbiasa.

Terbiasa melihat, terbiasa menemani, dan terbiasa mengisi. Hingga tanpa disadari, secara perlahan, mengobati luka hati yang kemarin begitu jahat menggerogoti.

                                   ***

Awalnya, Nadira pikir tidak apa-apa, tetapi setelah jam pulang sekolah tiba. Gadis itu mendadak menghubungi suaminya, meminta izin untuk tidak pulang dan menginap di rumah ibu dan ayahnya saja.

Beruntung, Tara mengiyakan dan lelaki itu merasa lebih lega ketika Nadira meneleponnya sewaktu dirinya pun baru saja sampai di tempat penginapan.

.
Setibanya di kediaman orang tuanya, Nadira disambut hangat oleh mereka. Ada perasaan rindu begitu menyeruak melintasi kalbu. Juga perasaan bersalah karena sudah membuat putri bungsunya harus rela berkorban akibat ulah kakaknya sendiri.

"Suamimu tugasnya berapa lama, Dira?" Ibu bertanya pada Nadira yang sudah berganti pakaian.

"Sampai lusa, katanya hari minggu juga sudah pulang. Kenapa, Bu?" Nadira membalikkan tanya.

"Ibu pikir, cukup lama. Ibu masih pingin kamu tinggal lebih lama lagi di sini," tutur wanita berkisar usia empat puluh sembilan tahunan itu.

"Mana bisa, Bu. Dira sudah punya suami," tukas Ayah menyela.

"Ini kan hanya keinginan Ibu, Yah. Ya, syukur-syukur mantu kita itu ngasih pengertian," keluh Ibu.

"Nanti Dira coba ngomong ke Kak Tara, Yah, Bu. Dira yakin kok, Kak Tara nggak akan keberatan."

                                 ***

Di lain tempat, Tara yang sempat beristirahat sejenak. Pria itu nampak sudah rapi dan bersiap pergi untuk menghadiri pertemuan bersama klien yang sudah dijanjikan sebelum dirinya ditunjuk menjadi perwakilan dari perusahan tempatnya bekerja.

Dua puluh menit berlalu, Tara masih belum sampai di tempat tujuan. Namun, dari perjalana yang ia tempuh, sedikit banyak mengundang kenangan yang tak sengaja datang melintasi ingatannya.

Bagaimana tidak, Tara ingat betul bahwa di kota ini lah dirinya bertemu untuk pertama kalinya bersama Nirina. Calon istrinya yang pergi entah kemana. Lalu terpaksa rela, ia harus menikahi adik dari kekasihnya itu. Demi menutupi malu dua belah keluarga.

"Kamu kenapa melakukan ini sih, Rina." Gumamnya dengan kedua mata jauh menerawang ke arah jalanan.

Hingga di detik kemudian, lagi, ia memaksa dirinya sendiri untuk tak lagi mengenang seseorang yang telah merobek perasaannya.

Karena memang sudah seharusnya begitu bukan?

.
Di rumah, Dira masih belum tidur. Matanya masih segar, bahkan sekarang ia masih menonton layar televisi yang menayangkan acara talk show dan komedi. Sesekali, perhatiannya teralihkan oleh suara notifikasi dari benda pipih yang tak jauh dari posisinya.

Membalas beberapa pesan dari seseorang dengan senyum mengembang kelewat senang. Juga, tentu saja, dari aksi berbalas pesan itu, tak jarang mengundang bias merona kemerahan di pipinya. Ditambah ekspresid tubuhnya yang kerap kali di dorong oleh hormon dopamin persis seperti anak abege yang sedang jatuh cinta.

.
Satu jam, sampai tak terasa waktu menunjukkan nyaris pukul dua belas tengah malam. Nadira masih terjaga di depan layar kaca yang kini seolah sedang menonton dirinya. Gadis itu masih saja berbalas pesan dengan seseorang yang membuat hatinya senang bukan kepalang.

Namun ditengah-tengah itu, ketikan jemari yang menari di antara papan aksara tersebut terhenti beberapa saat. Tatkala sebuah nomor menghubungi dirinya.

"Halo, Kak."

"Kamu belum, tidur, Dira?"

"Belum, lagi nonton televisi."

"Oh!"

"Kakak sendiri belum tidur, kenapa?"

"Saya baru pulang lagi ke hotel, nih."

"Jam segini?"

"Ya, pertemuannya cukup alot sampai bisa menemukan titik kesepakatan bersama. Jadi memakan waktu cukup lama."

"Mmmm, Kak."

"Apa? Kenapa, hmmm?"

"Ibu minta aku menginapnya seminggu di sini, boleh?"

"Boleh. Tentu aja boleh."

"Makasih, Kak."

"Hmmm. Ya, sama-sama."

Nadira tersenyum kecil, ia senang mendapati responship yang ditunjukkan oleh suaminya. Nadira cukup tahu bahwa lelaki itu tidak akan mempersulit apa pun. Sejauh ini terbukti, apa yang Nadira inginkan, selalu mendapat persetujuan. Lagi pula, hanya laki-laki kejam yang tak mengijinkan istrinya menginap di rumah orang tuanya, barang beberapa hari saja.

"Oke, saya mau mandi dulu, gerah banget soalnya. Kamu juga cepat tidur, jangan begadang." Tara pamit pada istrinya lantas sambungan telepon yang berlangsung kurang dari sepuluh menit itu pun terputus begitu saja.

Kendati begitu, Nadira masih terus membalas pesan. Seolah abai, dari pesan yang suaminya katakan.

                                ***

ASMARA DUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang