3. Musibah vs Berkah

84 7 0
                                    

"Saya duduk lagi, Pak?"

Dengan bodohnya aku masih berani tanya. Padahal, itu sudah jelas banget kalau mukanya Dilan ditekuk kayak kipas souvernir pernikahan, alis juga sudah berkerut. Malah tajam banget itu tatapan, kepalaku rasanya seperti dilubangi.

"Iya, kamu duduk lagi."

Sedikit gemetar, aku duduk. Aku tahu bakal kena omel. Karena Dilan ini tipe yang lumayan perfectionist juga galak. Beberapa kali aku dibuat mau mengompol karena dimarahi.

Dilan memutar layar komputer untuk menunjukkan padaku apa kebodohan anak buahnya ini.

"Kamu yakin ini konsep yang sudah bisa kita pakai untuk jasa promosi?"

"Ya-kin, Pak." Aku terbata menjawab. Fix, ini aku bakal ditelan Dilan hidup-hidup karena sudah jelas ketahuan kalau aku ini juga tidak yakin kalau konten iklan yang aku buat bisa dibilang layak.

"Huh, yakin kamu bilang?" Tatapan Dilan tajam.

Aku menelan Saliva. Kalau masih ngotot bilang yakin, aku bakal dicecar dengan banyak pertanyaan. Kayak, apa yang membuatku yakin?

Alih-alih membuat diriku tampak bodoh. Aku berstrategi untuk tanyakan apa yang dinilainya kurang.

"Bagian mana, Pak, yang harus saya benahi? Biar langsung saya kerjakan."

"Semua." Dilan menepuk meja. "Semua ini harus kami perbaiki. Mulai dari konsep iklan sampai kata-kata yang kamu buat!"

"Saya kerja dua kali dong, Pak?" tanyaku.

Harusnya sih, dijawab baik-baik, ini malah aku digalakin. "Salah kamu, bikin kayak gini juga masih nggak becus."

"Tapi, sebelum saya selesaikan saya ini sudah sempat diskusi dengan Mbak Titi, Pak. Ini katanya udah oke, kok." Ya, aku bela diri dong.

"Oke dari mana?" Aku makin digalakin. "Kamu ini lebih percaya dengan Titi atau saya yang punya bisnis ini?"

Aku percaya Tuhan maha adil, suatu saat akan ada kesempatan untukku bisa marah-marah begini dengannya. Tunggu Dilan-da Musibah! Aku akan balas kamu kalau ada kesempatan!

"Maaf, Pak." Ujungnya aku harus mengalah.

Dilan mencebik. "Kamu lupa, apa konsep dari pekerjaan kamu  sebagai digital marketing?"

Ya, aku ingat. Sebagai digital marketing aku harus punya kemampuan berpikir strategis, kemampuan riset pasar, pemahaman SEO, penguasaan alat dan situs, dan masih banyak lainnya. Bahkan, sampai bahasa asing juga harus dikuasai.

Aku adalah orang yang harus menjaga mood tetap baik. Tetap senyum, meski hati getir ketika harus berhadapan dengan konsumen. Aku juga orang yang menderita karena berurusan dengan Dilan Sialan ini.

"Ingat, Pak," kataku pasrah.

"Kalau kamu ingat, kenapa sampai kayak gini?" Dilan tuh ya, nggak puas kayaknya kalau nggak buat aku ngompol di celana.

"Maaf, Pak. Tapi, saya memang nggak paham dengan apa yang Bapak maksud."

Dilan menghela napas. "Intinya, saya nggak suka dengan apa yang kamu buat. Kalau saya target kamu, menurut saya ini nggak menarik, membosankan, juga terlalu pasaran. Siapa coba yang akan tertarik?"

"Jangankan untuk beli, klik link yang kamu kasih pun belum tentu dia mau. Hasil kerja kamu sungguh payah," pungkas Dilan, puas banget dia merendahkan aku.

Setiap musibah dan kejengkelan aku selalu percaya akan ada kebaikan di dalamnya. Mungkin kemarahan Dilan kali ini membuatku bisa punya kesempatan untuk berkomunikasi dengan Galen. Dia itu manajer marketing, atasanku langsung. Orang yang buat aku bertahan di kantor ini. Pria tampan, rupawan, berhati malaikat yang aku suka.

"Baik, Pak. Saya akan perbaiki ini dengan segera." Mengalah adalah jalan terbaik biar aku nggak pening.

"Saya tunggu sebelum makan siang nanti hasil kerja kamu sudah ada."

"Iya, Pak.". Aku mengangguk kemudian keluar dari ruangan Dilan.

Huh, berasa kayak habis dijebak di goa gara-gara aku harus dengar semua omongan Dilan.

Oke, lupakan. Enggak perlu memikirkan itu. Tugasku sekarang adalah mengerjakan ulang yang Dilan pinta sebelum kena omel lagi.

Duduk di meja kerja, aku berusaha fokus. Tapi, apalah daya tanganku malah gatal mengirimkan pesan pada Saras.

'Punya kenalan dukun santet nggak, sih? Sumpah ya, rasanya mau aku santet itu orang yang jengkelin banget!'

Menunggu beberapa menit, Saras membalas.

'Cin, sadar. Ingat kemarin aku mau pakai dukun pelet aja kamu marah-marah katanya dosa. Ini mau santet orang.'

'Aku kesal banget! Gila apa, ada orang yang seenaknya kayak gitu di dunia ini! Dia pikir untuk buat sebuah desain promo itu segampang memasukkan jari ke lubang hidung untuk menggali upil?' keluhku dalam pesan.

'Aku butuh kerja keras, butuh memikirkan ini matang-matang. Belum lagi konsep-konsep lain yang harus dibuat.'

'Lagian juga, itu orang kayak kurang kerjaan! Sudah tahu urusannya aku dengan Pak Galen, tapi kenapa sih, dia yang sibuk banget!'

Aku memborbardir Saras dengan chat kekesalan hatiku.

Saras mengirimkan emoticon tertawa padaku.

'Sabar, jangan marah-marah begitu. Mungkin bos kamu lagi jomlo, makanya dia agak stres,' balasnya.

Aku balas lagi, 'Dih! Dia yang stress kenapa aku harus jadi korban?'

'makanya biar kamu nggak stres juga, cari jodoh. Ini aku lagi usaha mau mendekati Kevin lagi.'

Sumpah kalau rancangan cari jodoh itu sebodoh yang Saras lakukan, aku enggak akan pernah mau bertindak seperti itu.

'Nggak usah aneh-aneh ke dukun lagi ya!' Aku ingatkan Saras.

Dia balas, 'Nggak kok, tenang aja. Hari ini aku nggak bakalan ke dukun, soalnya biayanya mahal.  Lagian semalam dapat ceramah, nggak sengaja dengan dari ibu kos yang nonton tausiah di TV.'

Bagus kalau begitu. Memang enggak pernah ada yang bagus kalau cinta menggunakan pelet. Dengar dari orang sih, katanya yang sebenarnya mengendalikan hati korban pelet adalah setan, bukan perasaannya sendiri. Iyuh, mengerikan.

'Nanti sore pulang kerja kita ketemuan, yuk. Kebetulan aku juga pulang cepat. Sekalian  kita mampir di warung seblak langganan.'

Aku setuju dengan catatan, 'Kamu yang bayar, gantian.'

Saras pasti kesal. 'Ampun, deh. Perhitungan banget sama kawan.'

'Ya, you know, uangku dan uangmu itu nggak pernah bersaudara dan juga nggak akan pernah akrab. Jadi jangan kaget kalau aku bakal lebih perhitungan.' Aku juga nggak mau rugi.

Kembali Saras tertawa. Pesan terakhir darinya, 'Oke, Sista. Semangat kerjanya. Ingat, kita masih miskin, butuh uang untuk beli skin care, supaya bisa dapat cowok tajir. Tetap semangat kerja!'

Enaknya ngobrol dengan Saras, walaupun kadang-kadang dia kurang nyambung, bisa mengurangi sedikit beban pikiranku.

Baiklah, lanjut kerja. Setelah selesai, kurang dari dua jam dari yang ditargetkan Dilan, aku mau meminta bantuan Galen.

Sebenarnya waktu mau kirim pesan ke dia, ragu banget. Takut dia sibuk, takut ditolak, dan takut aku ini enggak dianggap apa-apa di sini. Tapi, memikirkan ketimbang aku bakal diomelin lagi dengan Dilan, mending aku tanya dulu deh ke Galen. Lagian, Mbak Titi juga setuju kok, kalau aku konsultasi dulu ke beliau.

'Selamat pagi menjelang siang, Pak Galen. Maaf, Bapak sibuk atau nggak? Kalau ada waktu, saya mau konsultasi ke Bapak soal kerjaan saya.'

Pesan dikirim, aku menunggu balasan dengan jantung berdebar. Kira-kira Pak Galen mau enggak ya, balas pesanku?

Ting!

Pop up pesan masuk. Hyuh! Tanganku berkeringat ketika membuka layar ponsel.

'Saya senang kok, kalau kamu mau konsultasi dengan saya. Ini saya lagi nggak sibuk, langsung aja ke sini.'

Emaaak! Anakmu berhasil punya kesempatan untuk dengan calon mantu emak.

'Saya ke ruangan Bapak sekarang, ya kalau gitu?' Aku basa-basi dulu.

'Iya, Nara ....'

Tuhan, kuatkan jantung hamba. Baru juga disebut nama sama Galen begini mau meleyot rasanya.

Aku memikirkan, apa perlu pakai penyegar mulut dan minyak wangi lagi untuk menemui Galen?

















Mantra Cinta Untuk DilanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora