5. Dapat Mantra Cinta

101 8 0
                                    

Aku tarik napas dalam-dalam, embuskan perlahan dari hidung. Bukan bokong. Masih sopan aku di kantor enggak kentut.

"Iya, Pak, Saya bakal ikut Bapak nanti."

Aku pikir ini sudah selesai. Dilan malah memperhatikanku dari ujung kepala sampai batas di mana badanku enggak ketutupan meja. Aku merasa dikuliti dengan tingkahnya ini.

"Bapak ngapain lihat saya kayak gitu?"

"Kamu yang mikir apa karena saya lihatin begini!" Dilan meninggi nada bicaranya.

Aku punya jawaban yang sangat diplomatis. "Bapak jijik dengan saya?'

Dilan tertawa. "Saya nggak mikir kayak gitu."

"Oh.” Ya habisnya kalau aku bilang kalau Dilan mau macam-macam denganku, takut disuruh ngaca.

"Kamu rapikan lagi tampilan kamu. Saya nggak nayaman banget itu lihat muka kamu sudah kayak donat.” Body shaming-nya Dilan enak banget ya. “Nggak mau tahu saya, siang nanti kalau saya ajak keluar kamu sudah harus kelihatan agak enakan sedikit."

"Umh, gimana kalau Bapak, ajak Mbak Titi aja? Nanti transfer ilmu, Pak. Ketimbang Bapak malu jalan sama saya, 'kan?" Aku kasih solusi lain.

"Titi itu udah ahli, kamu yang masih kacangan." Lagi-lagi akulah yang diejek.

Okelah, pasrah. "Iya deh, Pak."

"Sana keluar."

Istighfar aku dalam hati diusir begini. Dengan senang hati aku keluar. Tapi, enggak bisa bohong juga kalau aku merasa insecure dengan omongan Dilan barusan.

Kembali ke ruang kerja, sibuk dengan urusan sendiri, tidak terasa sudah hampir jam makan siang.

Berhubung si  Bos  tadi sudah bilang kalau mau mengajakku pergi, aku jadi ke kamar mandi dulu untuk mengecek tampilan.

Perasaan, mukaku ini nggak kucel amat. Aku bukan tipe perempuan yang total abai dengan kesehatan kulit wajah. Timbang toner sama serum masih pakai. Ini, kenapa aku dikatain kayak donat? Apa pipiku gemuk?

Putar kiri, putar kanan. Aku cek lagi wajah. Asli, aku malah merasa semakin mengagumi kecantikanku yang enggak seberapa ini. Semua biasa saja, enggak seburuk yang Dilan bilang.

Tapi, sebagai pertolongan, aku memutuskan untuk touch up. Walau hanya pakai suns creen dan juga loose powder. Jangan lupa semprotkan minyak wangi ke sekujur tubuh supaya Dilan nanti enggak protes, menghina kalau badanku ini bau. Perhatikan lagi pakaian. Lihat dari segala sisi.

Setelah semuanya sudah sempurna, aku keluar dari kamar mandi. Mbak Titi sampai kaget.

"Seger amat. Habis ngapain?" tanyanya.

"Bedakan," jawabku jujur.

"Tumben-tumbenan, mau makan siang doang pakai bedakan. Memangnya mau ketemu dengan siapa?" Mbak Titi semakin penasaran.

Aku menggoyangkan jari telunjuk dengan mata menyipit di depan rekan sejawatku ini. "Bukannya mau ketemu dengan siapa-siapa, Mbak. Tapi, aku bakal pergi dengan seseorang."

"Siapa?" Mata Mbak Titi sudah berbinar-binar. "Pacar kamu, ya?"

Pacar dari Hongkong?

Statusku saat ini belum punya gandengan Laki-laki yang aku suka adalah atasan sendiri yaitu Galen. Tapi, semakin menyadari perasaanku begitu besar padanya, semakin aku tahu pula kalau harapan nanti bisa bersamanya bisa dibilang cuma ada dua persen.

"Aku mau pergi dengan Pak Dilan."

"Loh, mau pergi dengan Pak Dilan?" Kaget, ‘kan, dia.

"Iya, katanya aku harus ikut dia untuk ketemu dengan marketer profesional, yang bisa ngajarin aku. Biar skill untuk bikin konten promo enggak itu-itu aja." Aku becermin lagi, mengecek muka takut masih kayak donat.

Mbak Titi heran. Sembari menyedot es boba miliknya, dia bilang, "Kok bisa, ya? Padahal desain promo kamu itu lumayan bagus, loh. Kata-katanya juga menarik."

Nah, ada yang sepahm denganku rupanya. "Itulah. Kayaknya si bos agak sensi, deh. Makanya apa aja yang aku kerjain salah."

"Sabar, namanya juga cuma karyawan. Kita cuma bisa nurut."

Benar banget itu apa yang dibilang sama Mbak Titi.

Obrolan kami harus terputus karena Dilan bilang 10 menit lagi aku harus turun, tunggu dia di parkiran supaya bisa langsung berangkat ke tempat pertemuan dengan marketer nanti.

Aku enggak tahu apa yang ada di pikirannya. Menurutku ini ribet. Tapi, ya sudahlah. Ikut saja apa kata dia.

Sepuluh menit akhirnya tiba juga, aku bergegas turun menunggu Dilan-da Masalah tepat di dekat mobilnya.

Biasanya ada seorang sopir menunggu. Tapi, ini tumben sepi-sepi saja.

Lima menit kemudian dia muncul. "Bagus kamu nggak telat. Hampir saya mau marah kalau sampai kamu belum muncul."

Aku tersenyum getir. Sebagai orang yang sudah tahu bagaimana karakter dia, enggak mungkin dong aku cari masalah.

Dilan bukakan pintu depan.

"Loh?" Aku kaget. "Saya duduk di sini, Pak?"

"Mau duduk di mana? Masa mau duduk di belakang? Kamu Kira saya sopir kamu, apa!"

"Bukan begitu, tapi 'kan. biasanya Bapak ke mana-mana diantar sama sopir. Saya kira, Bapak duduk di belakang."

"Saya lagi males pakai sopir. Kamu buruan masuk!"

"Ini beneran, Pak, saya nggak masalah duduk di sini?" Aku ragu, soalnya Range Rover ini kelihatan terlalu bagus untuk ditempelkan bokongku.

"Ya sudah, kalau kamu nggak mau duduk di sini, silakan duduk di atap mobil!"

Sialan. Aku nggak tahu dia bercanda atau serius. Karena ekspresinya selalu sama.

"Iya, Pak, saya duduk sini." Akhirnya masuk juga aku dalam mobil itu, lalu duduk pasang sabuk pengaman. Diam, enggak mau ngomong apa-apa karena takut nanti salah lagi.

Pergi kami ke restoran dengan konsep ruangan private. Baru duduk, pramusaji di sana langsung tahu menu apa yang harus disiapkan. Menunggu sebentar, makanan datang.

Dilan suruh aku juga menikmatinya.

"Pak, katanya kita mau ketemu dengan marketer profesional itu?" Wajar dong kalau aku tanya.

"Ya udah, nanti dong. Sambil nunggu makan dulu. Kebetulan saya lapar dan nggak mau dilihat orang sebagai Bos kejam," ujar Dilan dengan garpu mengacung di depan hidungku. "Kalau saya enak-enakan makan, kamu cuma bengong!"

Aku lihat menu yang terjadi di depan mata, dengan tampilan yang sangat eksotik, sampai aku enggak tahu ini namanya apa. Tapi, bisa ditebak sih, harganya sudah pasti mahal.

"Ini gratis, 'kan, Pak?” tanyaku. ‘Nggak bakal potong gaji atau bonus saya?"

"Kamu, beneran ya! Makan kayak begini saja masih ditanya." Dilan kelihatan pening. "Ini gratis."

Kalau memang gratis sih, enggak apa-apa. Aku bakal makan dengan senang hati.

Di sini keanehan kembali terjadi. Setelah makanan habis pun orang yang dimaksud enggak datang. Dilan melihat jam kemudian sebentar dia seperti berbalas pesan dengan seseorang.

Aku juga akhirnya jadi ikutan lihat jam. Ternyata, kami berdua di sini sudah sekitar 50 menit alias hampir 1 jam, orang yang ditunggu itu belum juga datang.

"Pak, ini gimana?" Wajar dong kalau sebagai anak buah aku harus tahu nasibku.

"Pertemuan kali ini batal. Kayaknya memang nasib kamu yang kurang hoki. Padahal, saya sudah atur jadwal." Dilan membuka serbet kemudian membayar bill makanan dengan Black card miliknya. "Ya sudah, kita kembali ke kantor. Besok atur lagi pertemuannya."

Idih! Jelas-jelas orang yang diajak ketemuan itu yang enggak profesional, kenapa harus aku yang diejek punya hoki selalu kurang beruntung.

Dengan bersungut-sungut aku mengikuti Dilan keluar dari restoran. Tiba-tiba ada seseorang yang mencegah.

"Kak, tolong beli buku ini!"

Aku kaget. Dilan main jalan terus. Padahal, aku mau memanggil untuk minta pertolongan. Takutnya, yang datang ini psikopat.

"Maaf, saya nggak mau beli bukunya. Lain kali aja." Aku menolak baik-baik.

"Tolong, Kak, beli." Dia sampai memegang tanganku.

Aduh, ini Dilan enak banget sih, main jalan. Bahkan aku enggak bisa lagi melihat sosoknya.

"Kakak harus beli buku ini, aku bakal kasih diskon besar-besaran."

"Ya sudah, deh." Dilihat dari tampilannya yang mungkin masih berusia 18-20 tahun membuatku akhirnya nggak tega. "Berapa harga buku ini?"

"Harusnya, harganya sangat mahal. Tapi, karena Kakak orangnya baik, aku kasih 50 ribu aja."

Aku menyeringai. Aku beli karena terpaksa juga. Biar enggak terlalu mengganggu.

Selembar uang 50 ribu aku berikan padanya. Kemudian buku tadi aku ambil.

Ini mungkin sebuah novel, dengan sampul berwarna merah muda dan ada banyak gambar hati. Tapi, karya siapa, aku enggak kenal. Juga dari penerbit mana pun aku enggak tahu.

Perempuan muda yang menawarkan buku tadi meraih tanganku lalu menggenggam jemariku dengan lembut. "Kak, di dalam buku ini ada kisah romansa dari beberapa orang yang punya pengalaman. Juga ada satu hal yang penting." Serius banget, nih, dia ngomongnya. "Di dalamnya, ada sebuah mantra yang bisa membantu untuk mendapatkan laki-laki yang Kakak cintai."

Aku cuma tertawa dalam hati. Ini sih, strategi marketing yang bagus banget. Tahu aku jomlo dan juga punya perawakan enggak secantik perempuan lain, dia pakai bilang segala ada mantra cinta.

Aku menghargainya. Jadi, aku terima saja. Tapi dia kembali memegang tanganku.

"Ingat, Kak, ikuti panduan yang ada di kertas itu. Ketika Kakak mau menggunakan mantra cinta untuk mendapatkan pasangan." Dia menatapku dengan serius. Di titik itu juga aku seperti terhipnotis bahwa yang dikatakannya adalah sungguhan.

Apa iya, ini benar ada mantra cinta? Kira-kira, boleh enggak ya kalau aku pakai ke Galen?
























Mantra Cinta Untuk DilanWhere stories live. Discover now