22

451 64 21
                                    

"Maafin Aku..."

Saat itu juga kiblat Pandega berubah, menghadap samping di mana si puan menjatuhkan pandangan.

"Kenapa Kamu meminta maaf?"

"Kalo aja Aku gak milih bangsal VVIP, pasti Kamu gak akan sesulit hari ini. Kamu anak sulung, semua tanggung jawab keluarga pasti ada di pundakmu. Renjana pernah bilang itu saat Kamu memintanya keluar dari warungku. Aku ... Aku minta maaf udah bertindak semauku tanpa mikirin posisimu."

Arane menggigit bibir bawah, berganti menengadah agar genangan di pelupuk mata tidak tumpah. Ruang di dadanya terasa sumpek, dipadati rasa bersalah juga rasa ... kangen (mungkin).

Pandega kehilangan kata-kata, ia mengurai napas pendek sembari memandangi punggung si puan. "Tidak ada yang perlu disalahkan." sampai Pandega menenangkan.

Arane sontak berputar, mengarah pada si pria dengan obsidian berkilau cairan netra.

"Renjana sudah lama ikut denganmu, tidak ada salahnya jika Kamu memberikan perawatan yang terbaik, bukan?"

Rintik di pelupuk Arane leleh, "Aku tau uang segitu gak kecil, Dega." lirihnya kali pertama menyebut nama si pria tepat di depan sang empu.

Kembali Pandega terbungkam. Apa yang si puan utarakan sepenuhnya benar. Namun, ia sendirilah yang mempersulit keadaan hanya karena menjaga gengsinya di depan si puan.

Meraih pundak yang lemah itu, Pandega lantas membawa pundak subur si puan bersandar pada bahunya.

"Sudah terjadi dan sudah pilihan Saya sebagai anak tertua yang berjanji pada mendiang Bapak." tegas Pandega lagi.

Kedua mata Arane semakin berkabut, bahkan luruh perlahan-lahan seiring usapan lembut di bahu kanannya. Ia merasa bersalah, tindakan yang ia anggap terpuji ternyata membuat sara orang lain. Memang Pandega keras kepala ingin mengganti biaya yang tak sedikit itu, tapi semua tidak akan terjadi bila ia tidak semaunya. Mentang-mentang rumah sakit itu milik bapaknya.

"Terima kasih sudah ke sini dan membawakan Saya makan malam. Saya sangat menghargainya." hibur Pandega membelah sunyi.

Arane mengusap bulir di ujung pelupuknya, bangun dari sandaran lalu menatap Pandega. "Kalo ingin lebih bermakna dari sekedar makasih, tolong berjanjilah makan dan istirahat dengan baik. Kesehatan itu investasi mahal."

Pandega tak kuasa menebar senyum, hatinya menghangat dengar penuturan si puan yang terkesan khawatir.

"Saya usahakan."

Belum terlalu puas, tapi Arane coba memegang ucapan si pria. Ia tahu tak mudah menjaga rutinitas yang terbilang sederhana tersebut di tengah kesibukan.

"Tanganmu sudah lebih baik?" perubahan topik dimulai Pandega seraya menunjuk tangan Arane.

"Dokter bilang masih beberapa minggu lagi buat bebas dari gips. Kalo lukanya, sih, paling minggu depan bisa dilepas jahitannya." beber Arane kini wajahnya kembali benderang.

Pandega mendesah lega sambil menggerakkan kepala atas bawah.

"Kamu kerja sampingan apa?" kini ganti Arane yang mengajukan pertanyaan.

"Mendesain logo untuk produk-produk klien." aku Pandega.

"Kamu emang kuliah di bidang desain, ya?"

Pandega malah menggeleng, "Saya dulu kuliah ekonomi, tapi kebetulan Saya minat dan berkecipung di bidang desain." paparnya bikin Arane beroh ria sambil mengangguk-angguk.

"Terus galerimu? Kamu dirikan sendiri atau berpartner?" lanjut si puan mulai kepo.

"Berpartner, tapi modal dari hasil Saya pinjam ke bank." jelas si pria.

UNDANGANPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang