satu

13 3 0
                                    

“Nggak nyangka gue, bentar lagi udah semester enam. Kayaknya baru kemarin hahahihi,” ucap gadis yang sedang memakan bakso bakarnya.

Gadis dengan kacamata bulat, bernama Mona itu menyahut, “Bener banget, Sin. Perasaan tiap hari gue sambat perihal tugas yang susahnya minta ampun, tiba-tiba seminggu lagi udah UAS.”

Pagi menjelang siang, ke empat gadis berbeda jurusan itu berkumpul di kantin Fakulatas Teknik. Jarang-jarang mereka bisa kumpul full tim berempat seperti saat ini. Awal pertemanan mereka yaitu karena satu kelompok saat ospek, sebenarnya Sinta tak satu kelompok—mereka bertemu Sinta saat grand opening UKM Universitas. Berbeda dengan Hasna dan Hanna yang bersahabat sejak kelas sembilan SMP, dan kini keduanya satu jurusan. Sedangkan Mona, teman satu fakultas Hasna dan Hanna. Nah, Hasna dan Hanna pertama bertemu dengan Mona saat ospek Fakultas.

By the way nih, janji ya lulus bareng!” ujar Mona lagi.
Hanna yang tengah meminum es teh mengangguk. “Harus dong, masuk bareng ya lulus bareng. Kalau bisa target lulus tiga tahun setengah.”

Berbeda dengan Hasna yang hanya diam. Kepalanya mendadak riuh dan membuatnya pening. Lulus bareng, ya? Memikirkannya saja ia tak sanggup. Bukan, bukan karena ia tak suka lulus bareng sahabatnya. Hanya saja ia tak yakin harus lulus bersama mereka. Sebab, Hasna sendiri merasa salah jurusan. Di semester dua saja IPnya anjlok, alhasil ketika menginjak semester tiga ia hanya bisa mengambil delapan belas SKS. Dan ketika libur semester kemarin ia harus merelakan waktu liburnya, karena gadis itu mengikuti semester pendek untuk memperbaiki nilai Statistikanya yang D.

“Duh, kalau gue nggak janji deh. Kalian pasti pernah dengar, anak Teknik lulus lima tahun pun udah hal yang wajar,” ujar Sinta, ia menekuk bibirnya ke bawah. “Gue pengin banget lulus bareng kalian. Tapi mengingat kata-kata tadi dan matkul gue yang bikin gila, rasanya gue nggak sanggup dan nggak janji lulus bareng kalian. Jangankan tiga tahun setengah, empat tahun aja gue nggak tahu sanggup apa nggak. Asli, tahu gini dulu gue nggak masuk Teknik aja.”

Hasna menghela napas, setengah dari yang ia pikirkan telah Sinta sampaikan. “Gue juga sama kayak Sinta. Tahu sendiri kan, kalau gue kena pelet Ekonomi Pembangunan pas milih jurusan. Perasaan dulu gue lihatin daftar jurusan Psikolog sama Manajemen, tapi kok bisa-bisanya dulu ambil Manajemen sama Ekonomi Pembangunan.”

“Rasa-rasanya pengin pindah jurusan,” sambung gadis itu.

Mengedikkan bahu, Hanna yang sekelas dengan Hasna mencibir, “Halah, perasaan dari awal semester lo bilang mau pindah jurusan tapi sampai sekarang mana?”

“Ya gimana, gue nggak berani bilang ke orang tua. Yang ada langsung kena ceramah tiap hari. Padahal tiap hari udah gue sambatin perihal stresnya gue masuk Ekonomi Pembangunan. Tapi kayaknya kode gue nggak nyampe. Yang ada Ibu pasti jawab gini ...” Ia menjeda perkataannya sebentar untuk meminum air mineralnya. “Nggak apa-apa, jalanin aja. Udah nyebur setengah ya nyebur aja sekalian. Udah terlanjur basah, masa mau pindah? Jalani aja dulu.”

“Turut prihatin. Nanti kalau lo nggak lulus bareng Hanna sama Mona ntar bareng gue aja.” Sinta yang duduk di sebelah gadis itu merangkul pundak Hasna dan menepuk-nepuk pelan sebanyak tiga kali.

“Orang gila. Makanya usaha, ngeluh mulu dapat apa?” Hanna memutar bola matanya saat mendengar keluhan kedua sahabatnya.

Gadis dengan tahi lalat di samping mata itu mendengus. “Udah deh, Han. Lo mah auto cumlaude diam aja. Nggak ngerasain gimana susahnya gue harus ngejar matkul yang ketinggalan.” Waktu semester tiga, di saat teman-temannya bisa mengambil dua puluh bahkan sampai dua puluh empat matkul, ia ketinggalan. Sebenarnya, kalau dibilang ketinggalan mata kuliah Hasna hanya ketinggalan satu matkul yang ditawarkan pada semester tiga. Tetapi beberapa temannya sudah mengambil tambahan matkul semester atas—semester ganjil.

Feeling Like I DoDonde viven las historias. Descúbrelo ahora