tiga

7 1 0
                                    

Yang dilakukan Hasna selepas hari terakhir UAS, gadis itu memilih menghibur diri dengan cara membeli jajanan banyak. Istilahnya sebagai apresiasi karena telah ambis belajar dan mengerjakan tugas kuliah yang terkadang susahnya minta ampun. Sebenarnya bukan itu saja, karena ini menyangkut suasana hatinya. Ia memikirkan ucapan kedua sahabatnya Hanna dan Sinta kala itu. Setelah semua yang diucapkan sahabatnya ia tak yakin dengan hubungannya bersama sang kekasih.

“Tapi kan kata Sinta sebosan apapun kita sama pasangan dan hubungan yang berjalan, jangan sampai itu jadi alasan buat ngeakhiri hubungan. Gue nggak ngerasa bosen sama dia, semoga dia juga gitu …” monolog Hasna sambil berjalan. “Sedangkan kata Hanna, gue bodoh gara-gara mertahanin hubungan yang nggak jelas.” Gadis itu perang batin.

Dia menghela napas frustasi, pikirannya sudah penuh dengan kuliah malah bertambah kisah romansanya yang nggak jelas. “Duh, apa sih? Gue kan niatnya mau ngehibur diri, tapi kenapa malah kepikiran ini itu?” dumelnya.

Dengan langkah lesu netranya menangkap gerobak yang berjualan bakso bakas, ia memutuskan membeli jajanan tersebut. “Bang, bakso bakarnya sepuluh ribu, ya. Nggak usah terlalu pedes tapi.”

“Ditunggu ya, Neng. Nih, duduk dulu.” Abang penjual itu menaruh kursi plastik dekat Hasna, gadis itu langsung duduk karena kakinya terasa pegal. Sambil menunggu pesanannya dibuat, ia membuka ponselnya. Ia pencet galeri, melihat foto-foto lama—terlebih foto dengan kekasihnya.

“Kangen …” gumamnya sambil menatap foto itu lamat-lamat. Jemarinya menggeser slide selanjutnya. Menampilkan foto sang kekasih yang saat itu diambil ketika selesai mengerjaan tugas kelompok. “Kata Hanna kamu udah nggak nganggep aku pacar sejak kamu pergi gitu aja. Tapi aku yakin, kamu nggak gitu kan?” Dia seolah lupa kalau sekarang masih berada di tempat umum. Bisa saja dia dianggap gila oleh orang lain karena berbicara sendiri dengan benda mati.

“Neng, pesanannya udah jadi.”
Suara Abang penjual membuyarkan kegiatannya. Sebelum berdiri, ia mengusap wajahnya. Ia pasang senyum sebaik mungkin dan berikan uang pas serta ucapkan terima kasih pada si Abang. “Ini Bang, terima kasih.” Langkah kakinya kembali berjalan di kawasan Pondok Cina, yang mana di sepanjang gang terdapat aneka kuliner kaki lima, mulai jajanan hingga makanan berat di sini.

“Abis ini beli apa, ya?” tanyanya pada diri sendiri sambil berpikir. Netranya memandang gerobak di sepanjang kawasan gang. Mengalihkan pandangan, ia lihat tangan kirinya yang sudah menenteng cilok dan bakso bakar. “Lumpia aja deh, abis ini beli minum terus balik ke kampus, gue lupa belum balikin buku.” Kebiasaan gadis itu suka berbicara sendiri.

“Pak, beli lumpia basah kayak biasanya, ya.”

“Siap Mbak Hasna. Ditunggu ya …” Usut punya usut, penjual dan Hasna sudah kenal karena Hasna sering mampir kemari.

🌼🌼🌼

“Hadeh, isi perut dulu lah, mikirin nilai kalau dapat E nanti aja.” Adalah keluhan Bima yang sudah duduk dengan semangkok mie ayam sengketa dan segelas es teh.

“Iya lah, kan nggak lucu lo mati kelaparan gara-gara mikirin nilai,” balas pemuda jakung yang berasal dari Jogja, Kevin namanya.

“Santai Bim, kalau dapat E tinggal ngulang.” Padahal dalam hati Dhafin sendiri ketar-ketir kalau nilainya ada yang E. “Mak sama Bapak lo kan kaya, masih sanggup lah kalau misal lo jadi mahasiswa abadi.”

“Matamu! Gue nggak mau kalau molor lulus, njir,” sungut Bima yang kini sudah memasukkan satu suapan penuh mie ayam ke dalam mulutnya. “Dah lah, makan dulu.”

“Dulu gue sempat nggak percaya sama anak-anak yang katanya ini mie ayam enak banget, pas nyoba ternyata emang enak sih. Bumbunya ada campuran sotonya.” Alihan topik yang begitu melenceng keluar dari mulut Kevin.

Feeling Like I DoOnde histórias criam vida. Descubra agora