SEMBILAN BELAS

29 6 2
                                    

Lima tahun kemudian

Qila telah menyelesaikan study-nya di Amerika, kini saatnya ia kembali ke negara dimana ia dilahirkan. Saatnya ia mengabdikan seluruh ilmu yang ia dapat untuk negara tercinta. Indonesia.

Rencananya, Qila akan kembali ke Indonesia lusa. Hari ini dan esok akan ia habiskan bersama kedua teman seperjuangannya. Mahveen dan Lavanya. Alasannya, karena mungkin saja Qila tidak akan kembali ke Amerika, jadi mereka akan membuat kenangan sebanyak-banyaknya bersama.

Bagaimana mungkin Qila tak memberi kesan yang indah di hari-hari terakhirnya di negara orang? Jika dipikir-pikir juga karena Mahveen dan Lavanya lah ia bisa merasakan mempunyai keluarga diluar keluarganya sendiri. Mahveen dan Lavanya benar-benar memberikan Qila kenyamanan tinggal disana. Jika disuruh tinggal disana seterusnya pun Qila tak akan menolak. Tapi, namanya pertemuan pasti ada perpisahan. Semua sudah hukum alam.

Oh ya, untuk Azzam. Seharusnya ia kembali ke Indonesia dua tahun yang lalu setelah program magisternya selesai. Tapi ia undurkan dan memilih melanjutkan program doktor di tempat yang sama. Dan akhirnya kelulusan Azzam dan Qila hampir berbarengan. Jadwal Azzam kembali ke Indonesia adalah hari ini.

Saat ini, Qila sudah siap dengan pakaian panjangnya seperti biasa, ia menggunakan dress hitam panjang dan dibalut jaket denim yang menutupi sebagian tubuhnya. Tak lupa dengan pashmina yang selalu melekat di kepalanya, yang sudah menjadi ciri khasnya sendiri.

"Qilaa..." Gadis dengan dress navy panjang dan rambut yang ia biarkan tergerai berlari mendatangi Qila yang sedang duduk di teras rumah. Gadis itu adalah Mahveen. Berteman dengan Qila cukup lama, membuat ia terbiasa memakai pakaian yang lebih panjang dari biasanya. Apalagi setelah mendengar cerita Lavanya saat itu, yang mengatakan lebih tertutup membuat diri lebih terjaga.

"Gak bareng Lavanya?" Tanya Qila setelah Mahveen sampai di depannya. Ia menjulurkan tangan bersalaman. Itu kebiasaan Qila dan teman-temannya, mereka selalu berjabat tangan ketika awal jumpa dan akan berpisah.

"Enggak, tadi aku ada urusan bentar terus langsung kesini." Jawaban Mahveen membuat Qila menganggukkan kepalanya sebagai pertanda mengerti.

"Di dalem aja yuk, kalau gitu." Ajak Qila.

Belum genap selangkah Qila dan Mahveen akan memasuki pintu rumah, terdengar suara Lavanya yang memanggil Qila dan Mahveen dari belakang.

"Ini nih yang di tunggu-tunggu, kemana aja?" Ucap Mahveen bertanya kepada Lavanya, seolah ia sudah menunggu sangat lama. Padahal Mahveen juga baru sampai.

"Yahh, maaf udah nunggu lama ya?" Tanya Lavanya tak enak hati.

"Enggak kok, Mahveen juga baru sampai." Balas Qila, ia menggelengkan kepalanya, Mahveen kenapa suka sekali menjahili temannya ini.

"Yaudah mau berangkat sekarang?"

"Yukk, naik mobil aku aja." Kata Lavanya.

Setelah mengambil tas dan mengunci pintu, Qila berjalan memasuki mobil Lavanya yang sudah terparkir di depan rumah. Dan setelahnya, mobil melaju memecah jalanan kota Cambridge.

"Qila, kamu gak anterin Kak Azzam ke bandara?" Tanya Mahveen memecah keheningan di dalam mobil.

"Buat apa?" Qila menaikkan sebelah alisnya bertanya.

"Ya kan selama ini kamu deket juga sama Kak Azzam, masak pas Kak Azzam mau pulang ke negaranya kamu gak anterin." Balas Mahveen.

"Kita cuma sebagai teman seperjuangan, aku malah takut timbul hal-hal yang mengarah ke tidak baikan, lebih baik aku disini."

"Lagi pula, Qila dan Kak Azzam kan satu negara, gak terlalu jauh juga jarak rumahnya. Kalau mau ketemu kan juga bisa disana. Ngomong aja kamu yang mau nemuin Kak Azzam." Balas Lavanya.

Akhir Sebuah KisahWhere stories live. Discover now