25. Some Nights

14.5K 1.3K 201
                                    

Affection - Cigarettes After Sex

Sudah hampir satu jam, mereka duduk berhadapan.

Bian sebagai pihak yang seharusnya bicara, karena ia yang menarik Briana, ke salah satu ruang karaoke kosong, malah menjadi stupa. Alih-alih mulut, nampaknya mata lelaki itu yang malah berkata-kata. Membiarkan Briana bergeming di tempat, diperhatikan lekat. Sedari tadi membuang muka, Briana putuskan membalas tatapan Bian, dalam rona bagai tak ada minat. Menutupi jantung yang berdebar gila-gilaan, semoga tidak terdengar.

"Kalau mau begini terus, lebih baik gue keluar."

Tadi, setelah dihela masuk, Bian melepas cekalan tangannya pada Briana. Menahan Briana yang ingin keluar. Tatapan dingin Bian dibalas menantang oleh Briana, yang berakhir duduk di ujung salah satu sisi. Membentangkan jarak dari Bian yang menempati sisi sofa dekat pintu. Bagai penjaga.

Sedari awal, mata Bian awas pada Briana. Entah disengaja, lampu dibiarkan remang kebiruan. Televisi tak dinyalakan. Satu-satunya yang hidup hanya pendingin ruangan yang kelewat kencang dan gema jauh suara nyanyian. Keduanya sibuk dengan praduga, prasangka masing-masing. Menenangkan, gelisah, dentum hebat di dada, larut merangkai kata-kata.

Kalau diamnya Bian, mengartikan lelaki itu sedang menunggu Briana menuturkan satu-persatu kesalahannya secara sadar seperti dulu. Briana tidak akan melakukan itu. Tidak akan. Bibir Briana menipis. Sorot lengkungan kecil matanya menunjukkan bahwa Briana cukup berani menghadapi apapun yang akan Bian lakukan.

Meski... untuk saat ini Briana tidak bisa menerka tindakan Bian. Tidak seperti saat mereka pacaran.

"Sorry."

Tuhkan.

Permintaan maaf Bian yang terlalu tiba-tiba—out of the box—bukannya melampiaskan kemarahan, kekesalan, atau tetap diam entah sampai kapan, misalnya. Maksudnya apa? Kening Briana terlipat-lipat, bingung. Apa Bian meminta maaf karena telah menarik tangannya? Atau, Bian, meminta maaf untuk... untuk apa? Membawa Erica bersamanya? Alih-alih datang sendirian?

Jelas bukan itu, Briana.

Juga, seharusnya, bukan Bian yang meminta maaf, tapi kamu, karena telah membuat Bian yang entah sedang melakukan apa, datang. Begitu cepatnya, sampai Sen mungkin ikut terpukau. Bisa jadi kamu telah mengganggu Bian yang tadi sedang bersama Erica sampai lelaki itu begitu marahnya. Briana meringis dalam hati. Memerintahkan dirinya untuk berhenti menyangkut-pautkan Erica.

Semakin bingung. Briana mengayunkan punggung, bergerak mundur. Sebab Bian berdiri, mendekati Briana, melengkungkan senyum konspiratif. Briana cukup was-was. Matanya memakukan tatapan, merasakan panas menjalar. Punggung Briana telah bersemayam kaku pada empuknya sofa.

"Sorry, I forgot that we already broke up," Bian berdiri di hadapan Briana, yang perlu mendongak untuk melihatnya. "Seharusnya, aku nggak perlu nunggu pengakuan kamu."

Cukup terhenyak dengan kejujuran Bian. Briana kira, pembicaraan mereka selesai dengan Bian yang telah berdiri. Namun nampaknya, tidak, Bian malah mengambil duduk di sisi yang tidak terlalu jauh dari Briana. Lebih dekat.

"Itu tahu," ketus Briana berhasil menguasai diri. Harapannya, semoga suaranya terdengar cukup jelas. "Seharusnya lo nggak usah dateng."

Fixing The Star ✓Where stories live. Discover now