5. Never the Twain Shall Meet

216 23 0
                                    

Dari dalam ke luar, berbalik memutar di samping diriku sendiri,

Berhentilah, karena kau dan aku tidak pernah ditakdirkan untuk bersama

Aku pikir kau lebih baik pergi; tak aman di sini,

Aku merasakan kelemahan datang

-Imogen Heap

Kegelapan menyelimuti dunia di sekitarnya seperti kabut. Harry memandang berkeliling tanpa sadar, matanya berusaha keras untuk fokus di ruangan yang minim cahaya. Keheningan itu terasa dalam, seolah-olah ruangan itu memang dibuat untuk tetap hening—dia bahkan tidak bisa mendengar hembusan napasnya sendiri. Kemudian desisan marah memecah, dan Harry membeku.

Di suatu tempat di seberang ruangan, sebuah pintu berderit terbuka, memungkinkan aliran cahaya yang tajam menyinari aula. Kemudian empat sosok melangkah masuk, yang semuanya segera dikenali Harry. Pertama adalah Voldemort, dan Harry merasa perutnya tersentak hebat saat melihat pria berwajah mirip ular itu. Dia diikuti oleh Severus Snape, Lucius Malfoy, dan di akhiri dengan Draco Malfoy. Harry menatap keempatnya, bersyukur karena dia tetap tidak terlihat, karena dilindungi oleh bayangan gelap. Di suatu tempat di benaknya, dia tahu bahwa ini tidak nyata—dua dari empat orang itu sekarang sudah mati—tetapi hatinya sepertinya tidak peduli. Hal itu menggedor tulang rusuknya seperti drum.

Malfoy yang lebih muda berdiri di dekat ayahnya, matanya bergerak-gerak gelisah, melihat ke mana pun asal bukan Voldemort. Dia terkadang mengangkat tangannya untuk menggosok lehernya—jari-jarinya yang panjang melengkung di garis rambutnya dan mengikuti dengan lembut di sepanjang lekuk tenggorokannya—dan saat mata Harry dapat menyesuaikan, dia memperhatikan bahwa ada tanda aneh menodai kulit pucat Draco.

"Aku masih tidak mengerti, Lucius," desis Voldemort sengit, "kenapa pengintaimu terus gagal menemukan bocah itu."

Lucius menundukkan kepalanya, wajahnya berwarna kuning pucat. "Maaf, Tuanku, dia sangat berhati-hati dengan gerakannya, dan mantra penyamaran darah lumpurnya... lebih kuat dari yang kita harapkan. Kita akan segera menemukannya."

Alis Voldemort berkerut, dan matanya memancarkan ancaman yang tak terucapkan. "Pastikan itu yang kau lakukan. Severus," dia beralih ke arah pria berambut berminyak, yang mata gelapnya bersinar di hadapan tuannya. "Bagaimana perkembangan di Hogwarts?"

Snape mengangguk muram. "Tidak ada yang penting untuk dilaporkan, Tuanku. Seluruh staf mempercayaiku sepenuhnya."

Voldemort mengangguk, bibirnya yang tipis melengkung membentuk sesuatu yang mungkin pernah dianggap sebagai senyuman. "Bagus." Matanya kemudian jatuh pada Draco, dan Harry mendapati bahwa dia tak menyukai kilatan lapar tiba-tiba yang berkedip di kedalaman mata merah itu. "Dan bagaimana kau membuat dirimu berguna untukku, Nak?" Voldemort mengusapkan jarinya yang panjang ke pipi anak laki-laki itu. Harry hampir bisa merasakan getaran Draco.

"Tuanku?" Draco berkata dengan gemetar. "Saya adalah pelayan Anda yang rendah hati. Saya akan melakukan apa pun yang Anda minta dari saya."

Voldemort mendecakkan lidahnya, menggerakkan jarinya di bawah dagu tajam Draco dan mengangkatnya. "Memang. Dan menilai dari tanda ini, kau memberikan janji yang sama kepada McNair tadi malam." Harry merasa bahwa kini dia berani untuk mendekat, dan dia bisa melihat bahwa tanda aneh di leher Draco sebenarnya adalah bekas gigitan. Tremor mengguncang tubuh Harry, dan kemarahan yang mendalam melilit di perutnya.

"Lihat aku, Nak." Voldemort memerintahkan, dan Draco dengan ragu-ragu mematuhinya. Mereka saling mempelajari satu sama lain untuk waktu yang lama yang seolah terhenti. "Apakah kau takut padaku?"

"Tuanku," bisik Snape, "dia hanya seorang anak kecil—"

"Anak-anak tidak memakai tandaku," desis Voldemort dengan finalitas yang bergema di seluruh ruangan. "Jawab aku."

OBSESSION - DRARRY (TERJEMAHAN) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang