An Art Gallery/. 08

31 4 0
                                    

••

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

••

Aqiel beranjak berdiri. Mengambil buku itu dari Izarah lalu meletakkanya kembali di atas meja. Aqiel mendekap Bundanya. Izarah terus terisak dalam dekapan putra bungsunya.

"Bunda... Cuma Bunda yang bisa mengerti perasaan Aqiel, cuma Bunda tempat cerita Aqiel, Bunda selalu bikin Aqiel merasa nyaman dan seperti nggak butuh siapa-siapa lagi selain Bunda."

Aqiel menghapus air mata Ibunya. Lalu mencium kening Ibunya. Wanita yang paling ia sayang, yang paling mengerti setiap perasaan dan emosional yang Aqiel tuangkan dalam bentuk lukisan maupun tulisan.

Aqiel melepaskan dekapannya. Izarah menatap putranya lamat-lamat. "Nak, kamu pantas bahagia, itu yang kamu butuhkan. Bunda nggak cukup untuk bahagiakan kamu. Bunda rasa, ini sudah jalan yang tepat, silahkan kamu tuangkan semuanya, Bunda selalu ada untuk kamu."

Aqiel tersenyum. "Makasih untuk semuanya yang Bunda kasih ke Aqiel."

Izarah menangkup wajah putranya, "Aqiel, anak Bunda yang paling kuat."

•••

Tiga hari setelah pertemuan Aqiel dan Nadin di kafe. Keduanya semakin akrab, Nadin belajar banyak hal dan Aqiel menceritakan banyak hal. Nadin juga sudah menceritakan ke Indah dan Omanya tentang Aqiel. Tentu saja Indah senang medengar itu, akhirnya putrinya bisa menemukan bakatnya. Nadin juga sudah memulai karya pertamanya, ia mencoba untuk mulai menulis satu karya.

Seminggu setelahnya, Nadin memutuskan untuk mendaftar kuliah. Memilih jurusan Sastra Indonesia, pengumuman masih ada satu bulan lagi, ia masih bisa menunggu.

"Nad, Papa kamu tadi telepon... Papa katanya senang dengar kamu udah mendaftar kuliah. Papa pulang dua minggu lagi katanya," Indah masuk ke dalam kamar Nadin.

Nadin menoleh, ia tersenyum. Gadis itu sedang melanjutkan naskahnya. Indah ikut duduk di samping Nadin.

"Anak Mama kayaknya bakalan jadi penulis nih," Indah tersenyum menggoda.

Nadin terkekeh malu, "Amiinn..."

"Oh iya Ma, Kak Nei pernah telepon Mama nggak minggu ini?"

Indah menggeleng, "Belum, Nad. Terakhir minggu lalu, dia bilang mau ada operasi minggu ini, jadi mungkin bakalan sibuk banget. Kamu sabar ya, nanti pasti Kakak kamu pulang kok," Indah mengelus lembut kepala gadis itu.

Nadin tersenyum tipis. E-mail yang ia kirim pun tak pernah dibalas Kakaknya.

"Kalau aku ke sana boleh nggak, Ma?" tanya Nadin pelan.

Indah berpikir sejenak. Ia juga bisa merasakan kerinduan Nadin ke Kakaknya. "Boleh."

Nadin tersenyum matanya berbinar-binar menatap Indah. Indah terkekeh lalu mengangguk.

"Serius, Ma?" Nadin masih tak percaya, ia bertanya dengan mata berbinar-binar.

"Iya... Mama tahu, kamu pasti kangen banget sama Kak Nei, kan? Makanya Mama izinin, tapi tiga hari aja ya, Nad."

An Art Gallery [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora