Playlist 10 - Go

487 56 5
                                    

Sudah genap tiga hari Renjun tidak pernah bertemu dengan Jeno. Ia tidak pernah ke rumah pria itu, begitupun juga Jeno tidak pernah datang ke restoran untuk mengecek seperti halnya yang sering ia lakukan. Haechan lah yang pria itu kirim untuk mengambil laporan rutin mingguan.

"Renjun, kau marahan dengan Jeno yah?"Tanya Haechan ketika hampir satu jam Renjun berusaha mati-matian agar topik tersebut tidak dibahas.

Renjun mengerutkan keningnya, terlihat acuh dan sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi.

"Apa itu juga harus kau catat dalam laporan minggu ini?"

"Sebenarnya aku tidak peduli, tapi jelas kondisi ini mengafeksi ku juga. Berhenti tsundere* dan saling berbicaralah kalian. Jesus christ, besok-besok jangan kaget undangan pernikahan Jeno kau terima."

"Bukannya itu kabar yang bahagia?"Renjun mendecih kecil.

"Astaganaga... Aku tidak mengerti kalian berdua bodoh apa bagaimana, hah?"

"Jeno yang bodoh."Jawab Renjun acuh.

Haechan terlihat menarik napas. Menutup berkas yang belum selesai mereka bicarakan.

"Renjun, kau tahu bagaimana impusifnya si bodoh Lee itu jika otaknya tidak dalam posisi yang benar, kan?"Tanya Haechan yang jujur saja sangat muak jika harus terlibat drama picisan seperti ini. Dia memang suka mendramatisir suasana, tapi kedua orang bodoh ini. Haechan tidak tahu kata apa yang bisa memerhalus KETOLOLAN mereka. Haechan menghela napas.

Renjun hanya diam. Bibirnya tertutup rapat, senyumannya terkulum, dan kedua pipinya menggembung. Protes tidak langsung kepada Haechan bahwa ia tidak suka- sekali dengan pembahasan pria itu.

"Renjun kau tau arti restoran ini bagi Jeno kan?"

"..."

"Restoran ini adalah hidupnya. Kau dipercayakan olehnya untuk memegang hidupnya."

Renjun menatap Haechan dengan datar. Mulutnya masih terkatup rapat, menolak untuk bersua terkait topik ini. Tapi Haechan tetap Haechan, pria itu membalasnya dengan kedua alis yang di angkat. Memaksanya untuk berbicara.

"Aku sama sekali tidak mengerti omong kosong yang kau bicarakan, Haechan."

"Aihh... Kau benar-benar polos atau malas berpikir sih? Laporan mingguan? Lebay sekali, laporan bulanan saja sudah cukup."

"..."

Haechan terlihat sangat menggebu-gebu. Pria itu jelas berusaha keras menahan dirinya untuk tidak mengeluarkan umpatan kasar.

Untuk apa Renjun percaya omong kosong Haechan?

"Resto ini dibangun sama Jeno dengan uangnya sendiri tanpa membawa embel keluarganya. Apa arti restoran ini dibanding perusahaan yang sekarang dikelolanya?"

"Aku setuju bagian berlebihan soal laporan mingguan."Renjun sekarang hanya berharap Haechan segera pergi dan berhenti membuat kepalanya bertambah sakit.

"Renjun... Bahkan ketika kau meminta seluruh restoran ini pada Jeno, ia akan memberikannya padamu tanpa ragu."

Renjun ingin sekali tertawa terbahak-bahak. Kenapa sih topik ini selalu mengalir kepada ekspektasi yang sangat jauh dari realita sebenarnya? Bagaimana caranya dia jelaskan ke orang-orang untuk berhenti mengharapkan mereka berdua terlibat dalam roman picisan.

"Ketika kau pergi suatu saat nanti, kau hanya akan menunggu kabar bahwa restoran ini bukan lagi miliknya. Kau pasti mengerti maksudku."Haechan salah, karena saat ini Renjun bertambah bingung.

Haechan rasanya ingin menyentil dahi Renjun dan Jeno. Mereka berdua adalah dua orang bodoh yang bersembunyi dalam status persahabatan. Entah maksudnya apa, anak kecil pun akan tahu mereka berdua sangat bodoh.

La La LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang