[ BAB - 02 ]

118K 6.5K 522
                                    

Minta tolong, ingatin kalau ada typo, thankyou🦋

Boleh komen dan votesnya?

BAB 02THAT'S DAY










“Kak Hangga.”

Kepala Hangga menoleh ke kursi penumpang. Ia menelisik Okta yang barusan memanggil. Si gadis menghela gusar, netranya mendelik ke Hangga.

“Kamu mau nangis?”

Sekuat tenaga Okta menggigit bibir dalam. Sial! Ia tak pernah merasa sesakit ini sebelumnya. Semua kenangan bersama Satya terputar bak kaset rusak di benak Okta. Potongan kenangan manis, yang ia rangkai sewaktu berpacaran— apakah semuanya hanya sebatas pelarian Satya semata?

Sukar menerima; dirinya selingkuhan. Siapa yang tidak ingin menangis diperlakukan sebegininya?

Semisal sekarang seorang diri, ia pasti akan melimpahkan segala gundah gulana yang berkecamuk di kepala. Entah memakai cara apa, yang utama, menumpahkan perasaan dongkol, amarah pula kecewa yang mendominasi feeling Okta.

“Kenapa? Pengen pura-pura peduli? Iya?” sinis Okta.

Pertanyaan yang diajukan Hangga sungguh sebuah trigger warning bagi Okta. Ia tidak asing, momen ketika pertama kali ia bertemu Satya juga ketika ia menangis di halte bus akibat dicampakkan sepihak oleh mantah kekasih.

Seandainya, di waktu tersebut Okta mengabaikan kehadiran Satya. Ia tidak perlu merasakan luka sedalam ini, bukan? Ia takkan menjadi orang ke-3, juga tak perlu menyaksikan pernikahan Satya; si laki-laki yang begitu ia cintai dan percayai.

“Kamu boleh menangis atau kamu enggak nyaman karena saya bersama kamu, saya bisa mengantar ke tempat yang mau kamu tuju.”

Okta takkan mengulang kesalahan yang sama. Ia takkan memberikan hatinya pada siapapun lagi.

“Enggak usah, gue mau turun.”

Hangga spontan mencegah gerakan tangan Okta yang hendak membuka pintu mobil.

“Langit mendung, sebentar lagi hujan. Area ini bukan tempat yang bisa dimasuki grab atau gojek. Kecuali, kamu berniat kembali masuk ke gedung.”

Bukan tanpa alasan Hangga memperingati Okta, mengingat daerah gedung pernikahan Satya adalah daerah privat dengan penjagaan yang ketat. Jadi, tak boleh dikunjungi oleh pihak-pihak yang tak berkepentingan.

“Terserah gue, sih— bukan urusan lo, 'kan?”

“Saya punya adik perempuan, dan semisal kejadian ini menimpa adik perempuan saya. Saya mungkin akan membunuh laki-laki yang berani nurunin adik saya sembarangan. Saya yakin, aturan ini juga berlaku ke kakak kamu.” Hangga merogoh saku celana. “Ya, udah, kamu bisa nunggu?” Ia menekan ponsel, “Saya hubungin kakak atau ayah kamu— biar dateng ke sini ngejemput.”

“Lo mau ngebuat gue ketahuan? Bokap gue— shit!”

Okta nyaris keceplosan. Ia mengepalkan tangan— di situasi sekarang, Okta harus mengendalikan diri agar tidak terperangkap dan terperdaya.

“Anterin gue ke depan, tempat di mana gue bisa pesen grab,” lanjutnya.

Tanpa banyak bertanya, Hangga menurut. Mesin mobilnya berderu, pertanda ia mulai menyetir kembali setelah menepi beberapa saat demi Okta yang nampak kacau-balau.

Keduanya terdiam, tidak membuka sesi obrolan sama sekali.

“Gue mau minta tolong,” tutur Okta tiba-tiba.

MY SWEETY HUBBYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang