[ BAB - 16 ]

51.7K 4.8K 2.2K
                                    

Bantu koreksi typo, Sobat.

[ MSH 16THEIR INTREACTION ]







Okta menghapus jejak air mata di wajahnya. Ia menetralkan deru napas, memperbaiki sistem kinerja paru-parunya yang bekerja terlampau lambat.

Hangga menyuruhnya duduk di ruang konsultasi dokter Hanung. Ruangan berwarna-warni yang dipenuhi berbagai jenis mainan anak-anak. Ia baru 'ngeh' ruangan ini terasa sangat nyaman.

Katanya, karena masih residen—Hangga belum memiliki ruang konsul pribadi. Suaminya biasa beristirahat di ruang staf medis yang tak boleh dimasuki selain anggota mereka.

Hangga terpaksa harus meninggalkan Okta sendiri, akibat mereka kedatangan pasien gawat darurat. Okta sendiri kurang memahami bagaimana istilah yang benar, intinya—Hangga terburu-buru pergi.

Okta mengerutkan kening begitu melihat gagang pintu naik-turun. Ia memeriksa keadaan dengan bergerak membuka pintu.

Alangkah terkejutnya Okta melihat Agi yang sedang berusaha memegang gagang pintu, tetapi tangan si balita tersebut belum sampai.

Awoh! Wan Pweutty!”

Kalimat Agi semakin tidak jelas, karena saat ini anak kecil itu menggigit ujung bungkus ice cream. Tangan sebelahnya masih di-gips, sedangkan satu tangannya menyodorkan ice cream ke Okta.

“H-Halo, Agi,” sahut Okta, ia menerima pemberian Agi.

“Catliya atang! Om Doktel cuyu Agyi jajain Twan Pwutty!”

Mata Agi berbinar—Okta sempat terhipnotis ke netra polos Agi yang menghanyutkan. Mengapa papanya tega menyakiti anak semenggemaskan Agi?

“Ah, Dokter Hangga minta Agi bawain ini ke aku? Sambil ditemenin?”

Entah kerasukan jin apa—Okta yang anti anak kecil tersebut tiba-tiba memahami kosakata Agi yang sangat terbatas.

Ung!” sahut Agi.

Agi manggut-manggut semangat. Senyum tidak pernah luntur di bibirnya. Okta mengulurkan tangan, meminta Agi menggenggam dirinya dan mereka kembali memasuki ruangan dokter Hanung, tak lupa Okta menutup pintu. Tidak usah khawatir, pasien takkan berkunjung, karena di depan pintu sudah tertulis bahwa konsultasi ditutup.

Okta menggendong Agi, membantu si balita duduk di sofa.

“Aati, Twan Pwutty!”

Apakah hati Okta memang semurahan barusan? Masa cuma perkara diucapkan terima kasih oleh Agi dirinya begitu terharu?

“Agi, Agi umurnya berapa?”

“Umul! Duwah! Duwah cetengah!”

Agi berusaha menaikan jari, ia melipat jari manis, memperlihatkan bahwa dirinya belum genap tiga tahun.

“Twan Pwutyy boye enda ecklimna dibukain? Agyi nta toyong, yah!”

“Iya, boleh!”

Okta membantu Agi mengupas bungkus ice cream yang hampir mencair.

“Auuh! Ecklimna yeyeh!”

“Iya, yah!” Okta berpura-pura lesu. “Leleh, deh!”

Okta juga mengupas ice cream yang tadi diberikan Agi. Ia menggunakan stick sebagai sendok— Agi meniru tindakannya.

“Twan Pwutty napa cedih?” tanya Agi, seraya fokus menjilati stick ice cream.

“Kenapa, ya?”

Menyedihkan sekali, menangisi kebahagiaan orang lain. Okta tidak mengerti, perasaan iri, sedih dan murka seakan menyatu.

MY SWEETY HUBBYWhere stories live. Discover now