Di antara semua rempah-rempah, Luna paling menyukai aroma jintan. Setiap kali ibu mertuanya memasak sesuatu yang menggunakan jintan, Luna akan menggantikan tugasnya untuk menghaluskan bumbu demi bisa menghirup aromanya.
Namun, belakangan ini jintan berubah menjadi semacam bahan kimia beracun yang aromanya membuat Luna mual. Baru sebentar membantu Umi memasak kari untuk acara arisan keluarga, dia sudah bolak-balik ke kamar mandi untuk muntah. Sebenarnya sudah tidak ada lagi yang hendak dimuntahkan.
"Muntah-muntahnya parah, ya?" tanya seorang bibi Adam.
"Iya, nggak bisa masuk apa-apa. Cium bau masakan aja nggak bisa," ujar Umi, seolah-olah dirinyalah yang sedang menderita mual dan muntah.
"Aku dulu hamil tiga kali nggak pernah mual-mual gini," kata sang bibi lagi. Jelas ada nada bangga sekaligus merendahkan dalam suaranya. "Aku hajar aja makan apa-apa. Nggak pantang-pantang. Kita orang dulu nggak bisa manja-manja kayak anak sekarang."
Bukan hanya sekali Luna menerima sindiran seperti ini dari keluarga suaminya. Dia tahu sejak awal dirinya tidak akan pernah menjadi favorit keluarga di sini, terlebih setelah mereka tahu ibunya seorang mantan narapidana dan keluarga besarnya punya reputasi buruk di lingkungan ini.
Dia beruntung karena Umi, meskipun kadang-kadang berlebihan juga, memahami kondisi Luna. Sejak dia masih pacaran dengan Adam, dia sudah diterima seperti anak sendiri di rumah ini.
"Kamu urusin piring-piring aja, gih," kata Umi. "Piring... sendok... Tapi jangan angkat yang berat-berat, ya. Suruh Abang yang angkat-angkat."
Di hadapan para orangtua, Luna akan memanggil suaminya "Abang". Dia sudah mencoba membiasakan panggilan itu sejak menikah, tapi Adam nyaris tidak pernah menoleh jika dipanggil begitu. Ia baru menyahut saat dipanggil "Dam".
Mungkin efek menjadi anak tunggal.
Adam asyik bermain dart di ruang keluarga. Permainan itu tampak terlalu mudah baginya meskipun ia melemparkan panahnya dari seberang ruangan. Ia harus mencari daerah sasaran lain yang belum tertancap anak panah di bagian tengah.
"Dam, disuruh siap-siap, nih."
Meskipun sudah diperingatkan Umi agar tidak mengangkat yang berat-berat, Luna masih saja membantu Adam menurunkan gulungan-gulungan permadani tebal untuk melapisi lantai. Luna dan ibu mertuanya memiliki definisi berat yang berbeda. Bagi Luna, yang berat bukanlah hal-hal yang bersifat kebendaan. Yang berat itu berhubungan dengan orang lain.
Ketika sanak saudara berdatangan, Luna seharusnya menyibukkan diri menyiapkan hidangan, tetapi karena tidak tahan mencium aroma makanan, Umi memintanya menjadi penyambut tamu.
Neraka.
Pada saat-saat seperti ini, dia sungguh iri dengan kebebasan yang masih dimiliki kakaknya. Tidak perlu terikat di satu rumah dan menjalankan tugas dengan patuh. Tidak perlu berhadapan dengan orang-orang yang tidak ingin ditemuinya. Tidak perlu mendengar yang tidak-tidak.
Tadi malam Venus berkata dia akan bertemu Tommy lagi di rumah hantu itu hari ini. Kali ini dia terpaksa mengajak Giga karena Giga menolak meminjamkan kameranya begitu saja. Venus mengeluhkan betapa banyaknya orang yang ikut campur padahal dia hanya ingin berkencan dengan laki-laki manis pencinta kucing itu.
Jika dipikir-pikir, hidupnya juga selalu dipenuhi orang yang suka ikut campur. Luna masih ingat betapa banyaknya saudara yang mengatur-atur rencana pernikahannya sampai dia sendiri tidak punya hak menentukan konsep acara itu sama sekali. Luna menolak melihat album pernikahannya sampai sekarang karena dirinya yang ada di sana bukan dirinya yang ingin dia lihat di acara sekali seumur hidup itu. Satu-satunya yang dia syukuri dari pernikahan itu hanya siapa yang menjadi mempelai laki-lakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternity [Proses Penerbitan]
Mystery / Thriller(Note: sebagian chapter diturunkan untuk kepentingan penerbitan) Rumah kosong di ujung jalan itu menyimpan rahasia. Dari bebunyian yang mirip aktivitas kehidupan manusia hingga penampakan-penampakan penghuninya yang sudah lama tiada. Suatu hari, Ven...