BAB 14

4.6K 282 9
                                    

Semua berputar begitu cepat. Mulai dari prosesi pemandian jenazah, hingga pemakaman. Seakan semua sudah direncanakan sengan apik agar jenazah Pak Alif tak menunggu waktu untuk dikebumikan. Pemakaman dilakukan secara tertutup oleh keluarga inti, keluarga jauh pihak Pak Alif dan sang isteri, juga kolega bisnis Pak Alif.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Yang biasanya rumah sudah sepi dan hanya menyisakan lampu yang sudah padam, maka berbeda dengan malam ini. Seluruh keluarga inti telah berkumpul di ruangan kerja, bersama dengan kuasa hukum Pak Alif.

Yanti yang menyadari posisinya, hanya duduk di  dapur kotor bersama Bik Narti dan bik Sumi. Ia tidak ingin terlibat lebih jauh terlebih keluarga inti sedang mendengarkan kuasa hukum Pak Alif menjabarkan beberapa hak waris untuk isteri, anak, menantu dan cucunya.

Ia dan kedua ART mertuanya itu sudah bahu membahu membuat teh hangat, kopi dan beberapa kudapan untuk diantarkan ke dalam ruang kerja bila sudah ada instruksi dari ibu Mertuanya atau pun Shelomita. Tapi tangannya yang sedang mengaduk teh tersebut berhenti saat sebuah tangan menarik lengannya kasar hingga menjatuhkan sedok yang ia pegang.

Dilihatnya wajah Randy sudah berubah merah padam. Yanti melirik ke arah bik Narti dan bik Sumi yang seolah pura-pura tak melihat interaksi mereka berdua.

"Sebentar lagi tehnya selesai, Dok." Ujar Yanti yang seakan memgerti bahwa ini saatnya membawa makanan kecil tersebut ke ruang kerja.

"Bacot! Ikut gue sekarang!" Suara beratnya yang membentak membuat Yanti langsung mengikuti arah suaminya itu berjalan.

Ruangan begitu senyap dan mendadak semua mata tertuju kepadanya. Mata-mata yang amat tidak ramah.

"Ibu Aryanti Kinantia?" Sapa seorang kuasa hukum tersebut menyadari kedatangannya.

"Iya, saya Aryanti Kinantia. Ada apa ya pak?"

"Silakan untuk duduk terlebih dahulu, Ibu."

Seorang pengacara lain menggiring Yanti agar duduk di dekat kuasa hukum yang tadi menyapanya. Sang pengacara langsung mengeluarkan sebuah amplop coklat berukuran kecil dan menyerahkannya kepada Yanti.

"Silakan, Ibu. Ini sebuah wasiat dari Almarhum Pak Alif."

Yanti mengambil amplop coklat itu dengan dada bergemuruh.semua orang memandangnya curiga. Terlebih sang suami.

Saat ia berhasil membuka penutup amplop, ia menemukan sebuab kertas satu lembar yang terlipat empat bagian. Serta merta Yanti membacanya.

Untuk Aryanti Kinantia.

Jika kamu sudah membaca surat ini, saya pastikan bahwa saya sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Saya membuat surat ini, persis satu minggu pernikahan siri antara kamu dan anak saya.

Saya pikir kamu sudah tahu apa yang saya bicarakan. Tidak sekarang, mungkin nanti kamu akan mengetahuinya. Atau bisa saja surat ini yang lebih dahulu di tanganmu sebelum saya mengatakam segalanya.

Tapi saya pastikan bahwa kamu dan Randy harus memgesahkan pernikahan kalian.

Pengacara saya akan memastikan.

Alif Yufrizal.

Yanti terpaku melihat surat itu. Ada sebuah rasa sakit dan bahagia bersamaan. Dari bahasa yang mertuanya itu gunakan, betapa dirinya hanya dianggap sebagai kenalan atau mungkin saja rekan. Bahasa yang begitu formal seperti kemarin lusa saat ia bertemu dengan Pak alif terakhir kalinya.

Ia paham demgan perintah Pak Alif. Baru saja perbincangan itu ia lakukan demgan mertuanya itu kemarin lusa. Sebuah kenyataan bahwa ia tak begitu diharapkan oleh mertuanya itu. Ia hanya dimanfaatkan agar suaminya tidak menikah dengan Qiara. Tapi menyadari bahwa ia tengah mengandung dan membutuhkan dukungan suaminya, ia begitu bahagia dengan surat wasiat itu. Setidaknya pernikahan mereka akan disahkan secara negara dan menjamin status anaknya kelak. Karena ia sadar benar posisi anak yang terlahir dari pernikahan siri.

Hanya Ingin Bahagia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang