Prolog

75 14 14
                                    

Seperti mimpi buruk yang diletakkan di atas piring. Rupanya tidak menarik dan membuatnya tidak ingin makan lagi pagi ini. Porsinya selalu berisi makanan-makanan yang sama bernama luka. Ia tidak ingin mengenang. Tapi luka-luka yang lapar itu mengunyah pikirannya tanpa ampun. Dilumatnya ia hingga merata. Ditelannya ia hingga kenyang. Pikirannya mulai berkecamuk. Harusnya sebelum pagi tiba, ia ikut tenggelam bersama bulan agar orang-orang tidak mencari-carinya di pagi hari.

Semalam kejadian yang sama terulang lagi. Orang tua Ineskara berkelahi selepas Ineskara rapat teater di kampusnya. Mamanya sampai memecah gelas, piring, dan membanting apapun yang ada di sekitarnya. Teriakan-teriakan dengan tempo yang begitu cepat itu mengisi gendang telinganya. Rasanya seperti neraka, Ineskara duduk memojok di ujung kamar. Sayang, ia lupa mengunci pintu. Sehingga kejadian kekerasan menimpanya.

"Kamu pacaran kan sama janda itu! Ngaku aja lah! Aku muak kamu pura-pura nggak ada apa-apa Mas!" teriak Kinara, Mama Ineskara pada Arjuna, suaminya.

"Kamu yang negatif thinking terus sama aku. Dia nggak salah apa-apa. Nggak usah bawa-bawa dia!" jawab Arjuna.

"Oh, kalau gitu, kamu yang salah! Kamu ngaku kamu salah kan?!"

"Aku nggak pernah pacaran sama perempuan itu!"

"Bohong! Dua malam kamu nggak pulang ke rumah. Tidur di mana?! Cukup deh Mas kamu bohongi aku. Aku capek!"

"Aku ada tugas di luar kota! Aku capek bilang ke kamu karena kamu nggak pernah percaya sama aku."

"Urus itu anakmu yang pulang malam terus!"

"Loh, kamu ibunya yang sering di rumah, ya kamu yang urus lah! Aku kan kerja."

"Apa-apaan sih kamu! Aku juga kerja ya! Nggak pernah ada yang mau dia lahir! Anak sakit jiwa!"

Plak! Arjuna menampar Kinara.

"Stop Kinara! Kamu kelewatan!"

"PUKUL! PUKUL LAGI!"

Arjuna melempar tas kerjanya di sofa dengan gusar, kemudian masuk kamar. Sementara Kinara mendobrak pintu kamar Ineskara. Perempuan itu diseret ke kamar mandi yang letaknya di dalam kamar. Kinara menyiram Ineskara dengan air dalam gayung berkali-kali hingga bajunya basah. Ineskara memohon ampun dan meminta Kinara menghentikan amarahnya. Namun, Kinara justru menampar wajah Ineskara dan memukul badannya berkali-kali. Sesekali dijambaknya rambut Ineskara yang sedikit dan ditendangi tubuhnya.

"Anak nggak tahu diri! Dikasih makan, dirawat, suka seenaknya sendiri! Kamu sama aja kayak ayah kamu! Nggak tahu diuntung!" teriak Kinara.

Ineskara menangis sesenggukan meminta berhenti. Setelah Kinara puas, ia melempar gayung ke dalam bak, lalu keluar kamar Ineskara. Mamanya menangis sejadi-jadinya di ruang tamu hingga tersedu-sedu. Ineskara masih menangis dengan baju basah di kamar mandi. Menjadi anak yang tidak diharapkan selalu menjadi kesedihan mendalam bagi Ineskara. Tiba-tiba tangannya terulur ke atas kepala, kemudian mencabuti rambutnya dalam jumlah banyak sampai akar tanpa rasa sakit. Begitu terus berulang hingga pitak di salah satu daerah kepalanya. Selanjutnya ia menyesal, tapi kecemasan itu mereda. Itu yang dilakukan Ineskara setiap kali ia tertekan. Melukai dirinya sendiri.

Instrumen Derap Kaki Kuda ✔ [NEW]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin