24 : Tentang Asa

22 12 0
                                    

"Semua orang berteriak, 'Kerja keras tidak akan pernah mengkhianati hasil.' Padahal, lebih dari setengah orang itu hanya sedang menghibur diri sendiri."

🕯️🕯️🕯️

"Ayah, ada yang ingin aku bicarakan."

Suara musik jaz dari tape recorder itu mengalun mengisi keheningan di dalam mobil sebelum akhirnya Theo memutuskan untuk bicara. Kecanggungan dengan sang ayah makin hari kian parah rasanya.

"Katakan saja, Theo, Ayah dengarkan."

"Jam tangan ini, waktu aku kecil Ayah belikan sepasang dengan Ren, benar?"

Sang ayah menoleh sebentar, meneliti netra anaknya dengan dalam. Lelaki itu menghela napas lalu berkata, "Benar, hanya untukmu dan Ren."

Topik tadi sebenarnya sekadar basa-basi dari Theo. Semalam, sekeras apa pun ia dan Ren mengingat, praduga mereka tentang jam tangan itu ada tiga tidak kunjung menemukan buktinya. Keduanya memilih untuk melupakan perihal jam itu.

Sekarang, Theo merasa sudah saatnya ia membuka topik utama. Lelaki itu mengambil pasokan oksigen sebentar sebelum akhirnya dengan terbata mengeluarkan kalimat.

"Te–tentang keputusan pemerintah ... Ayah s–sudah mendengarnya di berita, 'kan?" Gugup menggerogoti Theo, netranya terarah ke jalan raya, tidak berani bersitatap dengan sang ayah.

"Tentang itu, Ayah sudah mendengarnya."

Kecanggungan makin terasa kuat. Lidah Theo kelu, mulutnya seolah tertutup rapat saking takutnya untuk bicara. Sembari menghela napas, Theo meraba liontin berukiran bunga matahari di balik seragam sekolahnya.

"Dengan begitu, aku tidak perlu lagi melanjutkan perusahaan Ayah, 'kan?"

Mendengar suara sang anak, perhatian Bula Andara sedikit teralihkan dari jalan raya. Tersenyum sebentar sebelum berkata, "Tetap, laboratorium perusahaan Ayah merupakan salah satu yang memiliki koneksi terkuat dengan departemen pemerintah."

Kembali fokus ke jalan raya, pria itu melanjutkan perkataannya. "Hanya organisasi Dua Kabisat yang dihilangkan, dan perusahaan Ayah masih berjalan di bidang lainnya, seperti pembuatan obat, alat-alat kesehatan, dan lain-lain."

"Kalau Ayah tetap memaksa, itu sama halnya dengan membawa kehancuran untuk perusahaan Ayah sendiri," kata Theo. Kali ini, tangan Theo ia letakkan di atas paha. Tidak ada lagi rasa takut dan caggung. Apa pun yang harus ia katakan, akan ia keluarkan.

"Kau akan belajar dahulu tentunya, Theo, tidak usah khawatir." Tatapan Bula Andara makin tajam ke arah depan, Theo bisa melihat bagaimana mata ayahnya seakan berkata bahwa perbincangan itu tidak perlu dilanjutkan.

Namun, kalau bukan sekarang, kapan lagi? Keberanian Theo tidak seharusnya berhenti sampai di situ.

"Aku tetap tidak ingin melanjutkan perusahaan Ayah, aku punya cita-citaku sendiri."

"Cita-cita? Kau bicara perilah menjadi penari modern itu? Ayolah, Theo, kehidupanmu akan lebih terjamin jika meneruskan perusahaan Ayah."

"Maaf, Ayah, tetapi aku lebih rela mati ketimbang mengorbankan cita-citaku."

Mobil itu berhenti, tepat di depan gerbang sekolah Theo. Sang ayah masih belum bicara beberapa detik. Ketika musik jaz dari tape recorder itu berhenti, pria itu menoleh ke arah anaknya.

"Aku kira kalian berbeda, tetapi ternyata sama-sama keras kepala. Gadis itu pasti yang mempengaruhimu, 'kan?"

Dahi Theo berkerut, tidak mengerti ke arah mana ucapan sang ayah bermaksud. "Aku tidak mengerti ucapan Ayah, yang pasti ucapanku hari ini murni dari hatiku sendiri. Bertahun-tahun membisu dan menurutimu, kurasa sudah saatnya aku punya suaraku sendiri."

Dua Kabisat Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum