Kedua Puluh Lima

1.7K 183 26
                                    

Senja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senja. Sebuah kata yang bermakna tak biasa bagi Bintang. Sebuah waktu yang selalu membuat tubuh itu berhenti beraktivitas. Hanya sekedar ingin melihat wujudnya yang hadir sementara.

Sandyakala di bumantara. Itulah yang menjadi pusat perhatian Bintang. Juga semilir angin yang samar-samar menusuk bagian terluar kulitnya, Bintang sungguh menikmati itu semua.

Manik legam yang semula terpejam itu terbuka, kala suara langkah kaki datang mengacaukan ketenangan yang semula terasa. Bintang berbalik, menatap sosok itu dalam suasana hening yang melanda. Bumi tersenyum teduh, membawa langkahnya menghampiri Bintang yang tengah menatap senja di atas kursi rodanya.

"Lo enggak mau masuk?"

Bumi mengambil duduk di samping kursi roda Bintang, ikut mengarahkan netra menatap luasnya bumantara yang memancarkan sinar jingga. Di sampingnya Bintang menggelengkan kepala, dia masih betah berada di sini hingga senja menghilang nanti.

"Rumputnya kotor, jangan sembarangan duduk."

"Gue capek berdiri terus, lebih baik duduk aja."

Bumi mendongak, menatap wajah Bintang yang nampak pucat dan tak bertenaga. Bumi tentu menyadari, sejak Asya berpulang hampir tiga minggu lamanya, Bintang tak pernah nampak tersenyum lagi. Bahkan ketika Bumi menceritakan kesehariannya berada di sekolah baru, kakak kembarnya itu hanya menanggapi seadanya. Bintang lebih banyak melamun, lalu diam-diam lelaki itu mengusap matanya yang berair.

Ternyata memang sebesar itu rasa cinta Bintang kepada Asya, bahkan rasa itu berhasil mengalahkan perasaan Bumi yang ternyata hanya sebatas rasa kagum. Kesedihan Bumi tak sebesar rasa sakit yang dialami Bintang setelah kepergian Asya.

"Gimana sekolah lo?"

Jujur saja, tidak biasanya Bintang bertanya perkara sekolahnya. Namun, karena sudah bertanya, maka Bumi harus menjawabnya. Siapa tau Bintang akan tertarik dan binar lelaki itu dapat kembali.

"Seru. Temen-temen gue ... banyak." Bumi tersenyum, terlampau lebar hingga mampu menutupi semua kebohongannya. Lagi-lagi dirinya hanya sanggup menelan semua masalah yang ia dapat di sekolah sendirian.

Sampai kapan pun, Bumi tak akan bercerita pada Bintang. Bumi tak akan membuat Bintang merasa berat karena keluhannya.

"Baguslah, gue harap lo bisa terus tersenyum selebar ini sampai nanti."

Bumi mengangguk tanpa jawaban. Sama seperti Bintang, binar pada kedua mata Bumi perlahan turut redup. Lelaki itu menghapus kasar air matanya, Bumi tidak boleh menangis di depan Bintang. Kembarannya itu tak bersuara lagi, ketika kepala Bumi mendongak sedikit mengintip kegiatan Bintang, lagi-lagi pemuda itu diam-diam mengusap matanya yang berair.

Bumi menunduk, entah sampai kapan penderitaan Bintang berakhir. Semua terasa semakin menyesakan baginya, melihat Bintang kesakitan juga membuat Bumi turut perih. Kenapa Tuhan tidak mau membagi rasa sakit Bintang dengannya juga? Meski diberi luka setara dalam bentuk yang berbeda, Bumi tetap merasa tidak adil. Bintang jauh lebih kesakitan dibandingkan dirinya.

1. Hug Me Star [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang