Chapter 27

386 16 0
                                    


Arana menggelengkan kepalanya. Menyembunyikan kepanikannya dibalik ketenangan pura-puranya.

Baik.

Baik, jika seseorang mengatakan Arana tidak panik, maka dia gila! Lihat bagaimana Arana bahkan sampai berkeringat dingin dan sampai gemetaran kakinya. Ayolah, masa depan Arana bisa terancam disini. Bagaimana dia bisa begitu tenang?

"Sayang, daripada kamu beranggapan bahwa suamimu ini tidak berguna, mari kita buktikan bahwa aku berguna. Sangat berguna." Ucapan Alva membuat tulang punggung Arana tegang. Buku kuduknya berdiri dan dia merinding. Arana menyunggingkan senyuman. "Aku tidak bermaksud seperti itu sayang. Aku bersungguh-sungguh, aku minta maaf jika tidak sengaja menyinggungmu. Kita, kita lupakan masalah ini, okey?"

Alva menatap Arana tegas. "Aku tidak akan membiarkan istriku berpikiran yang tidak-tidak tentangku."

Alva menggeleng sembari mendekati Arana. Semakin Alva mendekat, kepanikan dimata Arana semakin tidak bisa disembunyikan. "Sa-Sayang!!"

"Ahhhh! Aku sedang datang bulan!" Arana menjerit dengan wajah semerah tomat. Tangannya dengan sadar menutupi wajahnya.

Haruskah dia memukul Alva dengan panci atau penggorengan agar pria itu kehilangan ingatannya tentang apa yang baru saja dikatakannya?

Apakah ada obat yang bisa membuat seseorang kehilangan ingatannya?

Jika ada, hubungi Arana sekarang juga!!

"Pft!" Alva tertawa kecil. Tawa itu berhasil membuat Arana tertegun dan mendongak, memandang Alva yang memandangnya dengan senyuman teduh dan tatapan hangat yang membuat hati Arana bergolak asing.

Alva dengan tulus berkata, "Aku hanya akan menyentuhmu ketika kamu mengizinkanku, sayang. Jangan khawatir akan apapapun, mengerti?"

Arana tidak bisa berkata. Dia diam dan tidak bisa bereaksi selama beberapa waktu ketika Alva menjatuhkan kecupan ringan di dahinya. Orang bilang kecupan didahi menandakan kesetian, cinta suci dan ketulusan. Arana akan percaya apa yang mereka katakan, sebab neneknya selalu melakukannya kepadanya. Dan Arana tahu, bahwa wanita itu benar-benar tulus mencintainya.

Arana menurunkan matanya dan sedikit meremat kedua tangannya dibawah meja. "Maafkan aku, Va. Aku, aku belum siap."

Atau tidak akan pernah siap sampai kapanpun.

Alva tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku mengerti jika kamu masih merasakan rasa takut karena hal itu akan menjadi yang pertama bagi kita. Aku mengerti, jadi tidak perlu merasa bersalah atau bahkan merasa aku tidak mencintaimu atau yang terburuk, aku impoten karena aku tidak menyentuhmu."

Arana mengangguk. Memasang senyuman malu-malu. "Terima kasih, sayang."

Alva mengangguk dengan senyuman. "Aku hanya bercanda tadi."

***

"Dia bukan Alana."

Senyuman diwajahnya tidak tampak barang sedikitpun. Wajahnya yang dingin hampir membawa aura yang mampu membuat siapapun bergidik ngeri. Manik hitamnya yang sekelam malam menjadi lebih dan lebih dingin dan tajam dari sepasang pisau yang baru diasah diatas batu asah. Jika tatapan bisa membunuh, ia bisa membunuh ratusan orang hanya dengan sekali lirikan.

Disebelahnya, Erlan mengernyit dengan bingung. "Apa maksudmu?"

Alva lagi-lagi berkata dengan tegas. "Dia bukan Alana."

"Apa yang kau bicarakan? Bagaimana dia bisa bukan Alana? Dengan segala kesombongan dan keangkuhannya, bagaimana dia mungkin bukan gadis itu?" Erlan bertanya dengan beruntun.

Alva menoleh dan menatap Erlan. "Ingat alasanku melakukan ini? Aku menikahinya karena dendamku, Lan. Aku benar-benar mencari tahu apa yang disukainya dan apa yang tidak disukainya. Aku ingin membuat hidupnya menderita dengan memberi apa yang dia suka dan menghancurkannya ketika dia sudah menikmati segala hal yang menjadi impiannya."

"Tapi sejak di butik, dia hampir tidak kukenali, Lan." Ucapan Alva terpotong ketika dia tersedot dalam memorinya, membandingkan Alana yang dulu, dan Alana yang sekarang.

Senyuman miring tercipta diwajahnya, menciptakan ekspresi menyeramkan diwajah rupawannya. "Pernahkah kau mendengar sekali saja dia memanggilku dengan sebutan sayang yang begitu manis?"

Erlan mengernyitkan dahi.

Okey, Alana memang tidak pernah memanggil Alva dengan panggilan sayang.

"Pernahkah kau tahu atau mendapat informasi bahwa dia bisa bela diri? Pernahkah kamu melihat dia membiarkanku menyentuhnya bahkan memberinya kecupan?" Alva menghilangkan seringaiannya dan wajahnya menjadi dingin.

Di ruang kerjanya yang serba abu-abu tua dan hitam, Alva mengepalkan tangannya. "Aku mencurigainya bahkan dengan cara bicaranya. Nada yang dia gunakan sangat berbeda."

"Dia bahkan mengabaikan aturan dietnya dan memakan makanan berat yang kupesankan. Jika dia biasanya, apa menurutmu dia tidak akan membalikkan meja makan? Tidakkah kau pikir ini aneh, Lan?"

Alva memincingkan maniknya. "Sepasang manik itu. Jika kau memperhatikannya dengan cermat, sepasang manik itu lebih cerah."

Melihat tatapan Alva yang tajam, Erlan sedikit merasakan kebingungan. Jika mengingat pertemuannya kembali dengan gadis itu, Erlan menyadari bahwa Alana yang dikenalnya sekarang cukup berbeda dengan Alana yang biasa. Memang benar, Alana bahkan tidak membiarkan Alva menyentuhnya.

Erlan pikir, rencana Alva untuk menikahi Alana akan gagal karena gadis itu bersikap acuh, sombong dan angkuh, bahkan pada Alva yang digilai banyak wanita diluaran sana. Erlan dengan ragu membuka suaranya. "Lalu jika dia bukan Alana—,"

"—siapa dia?"

"—siapa dia?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Beloved Arana [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang