Prolog

416 25 9
                                    


💫

Nandita Sasya Kamila--begitulah nama yang terajut dalam pakaiannya yang rapih. Hari ini adalah hari yang paling istimewa baginya. Acara kenaikan kelas. Nandita beserta teman-temannya akan menampilkan sebuah musikalisasi puisi. Nandita sebagai orang yang akan membacakan puisinya, sedangkan teman-temannya akan berperan sesuai isi dari puisi tersebut.

Nandita sedikit gugup, setiap detik ia selalu melirik Ibu dan adiknya yang duduk diantara penonton lainnya. Tatapan Ibunya hangat dan senyumnya merekah membuat Nandita merasakan gejolak semangatnya lagi.

"Baik, penampilan selanjutnya dari kelas 1!"

Tepuk tangan dan senyuman merekah dalam bangku penonton. Dapat ia lihat ketika berjalan di panggung. Salah satunya adalah Ibu, Ibu tersenyum lebar dengan memegang lengan Elvan--adik Nandita, yang tampak sangat menggemaskan.

Musik sudah dinyalakan, Nandita segera mengambil michrophone dan berdiri tepat di tengah panggung. Membungkuk lalu mengeluarkan kertas berisi puisi.

"Perjuanganmu, Ibu!" Saat memulai, semuanya hening. Menyaksikan Nandita yang tampak percaya diri. Suara bulat khasnya mampu membuat atmosfer ketenangan.

"Karya Ridwan Assidik!"

Arunika mulai menyapa di balik bukit
Bersamaan dengan kau pergi di atas rakit
Melewati rintangan di tengah laut
Untuk mencari ikan ditukar dengan duit

Bait pertama, Nandita masih tenang, ia melihat wajah Ibunya lagi, yang membuat ia tampil dengan sangat baik. Teman-temannya di belakang, sudah memeragakan apa isi bait pertama tersebut.

Kau wanita sangat tangguh
Hatimu begitu teguh
Tubuhmu kuat menahan ripuh
Walau ragamu sudah rapuh

Kau secantik bidadari
Hangatnya kasih sayangmu bagai sang mentari
Cintamu untukku tak terlampaui
Rinduku padamu menghujam hati

Ibu kegigihanmu tak pernah hirap
Seperti Mega disemua penjuru langit
Kau memang tak bersayap
Namun hatimu bagai malaikat

Nandita melirik Ibunya kembali, ia masih tersenyum dengan ekspresi penuh kasih sayang. Namun, konsentrasinya mulai sedikit terganggu, saat Ibu mengambil ponsel dan menelepon. Raut wajahnya membuat Nandita gemetar.

Perjuanganmu membuatku luluh
Pengorbananmu membuatku pilu
Keringatmu membuatku kukuh
Kerja kerasmu membuat atmaku terharu

Ibu tidak ada yang bisa kuberikan
Hanya sebuah do'a tulus yang kupersembahkan
Untukmu, Ibu ...
Terima kasih ...
Karena perjuanganmu ...
Aku hidup

Tepuk tangan mulai terdengar meriah, para penonton menangis melihatnya tampil kali ini. Begitu juga dengan Nandita, ia menangis saat Ibunya tak memperhatikannya sama sekali, raut wajahnya menahan kesedihan. Ibunya beranjak berdiri dan menggendong Elvan. Tak dapat dipungkiri, ada rasa sakit bagi Nandita.

Diantara tepuk tangan dan ekspresi para penonton, Nandita hanya melirik pada Ibunya. Ia pergi meninggalkannya sendiri di panggung.

"Aku benci membaca puisi!"

Sayangnya, ia masih terlalu kecil untuk mengerti arti sebuah kehidupan. Tuhan selalu kejam, bagi orang yang tak ingin bersyukur. Mengapa, takdir berjalan seperti ini?

💫

Yeay
Bagaimana kabar kalian hari ini?

Ini adalah cerita untuk event dari Festival Genre WGA
Bantu aku dengan vote dan komen ya!!

💫

Tenang aja guys, aku masih ada hutang untuk cerita WHY IS IT SO HARD TO SAY? 2
Mohon maaf untuk itu, tapi kali ini insyaallah aku akan membayarnya dengan konsisten!

💫

Apa yang membuat kalian membaca cerita ini?

Bagaimana untuk prolog? Apakah kalian penasaran?

Bagian mana yang kalian sukai?

Sastra FisikaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora